Rabu, 10 Mei 2017

Supernova

            Banyak yang mengatakan masa putih abu – abu adalah bagian terindah dalam sebuah kehidupan. Waktu di mana kita menemukan cinta pertama, menemukan sahabat, bahkan belajar untuk menjadi dewasa. Saya setuju terhadap pandangan tersebut.

            Hampir tiga tahun sudah saya melepaskan seragam putih abu – abu saya. Bagi saya itu merupakan pakaian terbaik yang pernah saya pakai di samping sneli yang akan saya kenakan kelak. Bila ada mesin waktu, saya pengin kembali ke tahun di mana sebuah cerita dimulai. Cerita yang bagi saya tidak akan pernah berhenti, karena cerita ini masih terus berjalan hingga saya menulis tulisan ini.

            Memasuki dunia kuliah saya banyak melihat mahasiswa yang memutuskan menjadi kupu – kupu alias kuliah pulang – kuliah pulang. Datang ke kampus murni untuk belajar. Tidak ada minat apapun untuk aktif di berbagai organisasi. Pada mulanya saya kira mahluk semacam itu hanya bisa ditemukan di dunia mahasiswa, rupanya setelah saya kilas balik mahluk semacam itu sudah ada di bangku sekolah dulu.

            Saya besyukur karena masa putih abu – abu saya boleh saya jalani dengan aktif di sebuah organisasi yang disebut PASKIBRA. Bagi sebagian orang adalah sebuah kebodohan untuk memilih PASKIBRA sebagai suatu ekstrakurikuler. Terutama bila ada lelaki yang memutuskan untuk bergabung di organisasi ini. Termasuk saya. Awalnya ada empat laki – laki, namun seiring berjalannya waktu tinggallah saya seorang laki – laki yang harus memimpin rekan saya yang sisanya adalah perempuan.

            Siswa – siswi lain pulang sekolah pada pukul tiga sore, sedangkan saya pulang pada pukul enam sore hanya untuk berlatih baris berbaris. Saya akui banyak hal yang ingin membuat saya ingin mundur karena amat sangat melelahkan. Namun, setiap kali saya ingin mundur saya terlalu teringat perjuangan saya selama ini. Membuat saya berpikir ulang untuk keluar dari organisasi ini.


            Menjelang kelulusan, saya bersyukur boleh mengenal organisasi ini. Bagi saya, hal semacam ini yang membuat saya terlalu teringat akan masa SMA saya. Di sini saya belajar apa arti dari sebuah kerja keras dan kerja sama tim. Kedua hal itu adalah hal yang amat sangat berharga, bagaikan sebuah harta yang pantas untuk diperjuangkan.













Minggu, 15 Januari 2017

Jaket Biru

Beberapa hari belakangan ini pikiran saya melayang ke waktu di tiga tahun yang lalu, kali pertama saya datang ke kampus ini sebagai mahasiswa baru sembari mengenakan almamater atau yang saya sebut sebagai jaket biru. Kala itu semua terasa baik - baik saja. Sempurna, saya hanya merasa bertransformasi dari siswa menjadi mahasiswa. Ya, semua berjalan dengan sempurna.

Tapi Tuhan tidak mengizinkan semua berjalan dengan sempurna dari sudut pandang saya. Malam itu, semua berubah. Sebuah kasus membuat saya menjadi "terkenal" di kampus ini. Banyak pihak yang menuduh saya sebagai "tukang ngadu" atau "manja" atau "cengeng". Semua saya alami selama beberapa bulan. Bagi saya, itu adalah bulan - bulan terberat dalam hidup saya. Saya tidak pernah berada dalam titik seberat itu. Sempat, saya ingin menyerah.

Tekanan saya alami datang dari berbagai sumber. Saya merasa itu terlalu berat untuk saya tanggung sendiri. Awalnya saya menganggap ini semua adalah permasalahan yang sederhana, namun tidak sesederhana membalikkan telapak tangan.

Dampak yang alami setelah kejadian itu sangat banyak. Salah satunya yang paling disesalkan adalah saya menjadi berbeda dari teman angkatan saya. Saya merasa tidak mudah untuk mempercayai mereka. Semua orang memiliki kepentingan masing - masing. Bahkan, saya berpikir beberapa dari mereka memiliki tabiat "munafik".

Saya berusaha untuk tegar menghadapi ini semua, namun saya terlalu lemah untuk bisa bertahan. Bersyukur, saya memiliki rekan - rekan yang selalu mendukung saya, serta mendoakan saya. 

Namun, sekali lagi ini semua belum berakhir. Saya sempat menjalani kehidupan kampus yang tidak pernah saya harapkan. Tapi, apa boleh buat. Saya hanya perlu menjalaninya saja. Belajar bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dan izinkan dalam kehidupan saya. Belajar untuk tidak menyesalinya.

Banyak pihak yang mendukung saya melalui ini semua. Tidak adil bila saya mundur.

Saya harus beryukur dan menerima ini semua.

Tulisan ini bukanlah sebuah klarifikasi, atau curahan hati, atau penjelasan apapun. Melainkan sebuah cara untuk menghargai dan mencintai diri saya. Entah mengapa, saya bangga menjadi "Joue Abraham".


Selasa, 10 Januari 2017

Si Pencipta Ambisius

Beberapa waktu belakangan ini saya menyadari ada hal yang membuat saya berubah. "Si Perubah" ini berbentuk sebuah kata. Ia datang dan menghinggap di dalam kepala saya. Saya menyebutnya ambisius.

Saya tidak tahu bagaimana persisnya ia datang.  Yang jelas,  ia datang dan mengubah segala sesuatu. Seakan memberikan saya kekuatan yang cukup untuk melampaui batasan yang saya miliki.

Ya, saya melampauinya. Saya berhasil.

Pikiran saya melayang ke sebuah momen yang saya alami satu tahun yang lalu.

Indonesian Medical Students' Training and Competition 2016

Si ambisius ini datang  dari kota Malang














Minggu, 08 Januari 2017

Kepingan

Dengan  pelan aku berjalan. Menelusuri jalan ini. Aku tidak tahu kapan ini semua akan berakhir. Satu hal yang kuketahui, aku harus menyusuri jalan ini. Aku tidak boleh menoleh ke arah lain. Ini sudah bagus menurutku. Mengarahkan pandangan kedepan.

Aku mengumpulkan kepingan itu

Minggu, 01 Januari 2017

Catatan di Waktu Pasrah

Aku melihatnya. Dengan seluruh esensi diriku, aku hanya diam terpaku. Tak mampu menggapainya. Dia dekat dengaku, namun jauh. Menjadi sangat jauh ketika aku menyadari perbedaan di antara kami.

Berjuang adalah kata yang dapat menggambarkanku. Aku tidak mudah menyerah. Segala cara yang benar akan kulakukan untuk menggapainya. Ya, aku saat ini sedang berusaha. Namun, aku disadarkan pribadi itu, kami berbeda. Sekuat apapun aku mengerahkan kekuatanku, kami berbeda.

Kami dekat, tapi kami jauh di waktu bersamaan. Ada dinding dan sebuah jarak  di antara kami. Bagaikan takdir. aku tidak akan mampu menghancurkannya. Seolah memang sudah diatur sedemikian rupa.

Aku terjatuh, aku menangis seperti bocah ingusan. Ya, kami dekat, tapi kami jauh di waktu yang bersamaan. Ingin menyentuhnya, namun aku tidak mampu.

Aku melihatnya. Terasa sesak. Gemuruh ini ingin kukeluarkan.

Aku hanya perlu pasrah, dan melanjutkan perjalanan ini. Tidak semua dapat aku miliki, akan tetapi aku bisa menentukannya. Semua orang punya pilihan, termasuk aku. Selama ini aku terbawa arus. Kini, aku harus menentukan arah arus itu, bukan melawannya. Aku rapuh, tidak mampu melawan kekuatan sebesar itu.

Set me free,
Leave me be.
I don't wanna fall another moment into your gravity
Here I am and I stand so tall, just the way I'm supposed to be.
But you're on to me and all over me.


Sara Bareilles - Gravity

Jumat, 16 Desember 2016

Basis Aceh

            Beberapa hal mendorong saya untuk kembali bercerita melalui tulisan saya. Sudah lama saya tidak aktif menulis, namun seperti ada yang berkata “sekarang saatnya”.

            Saya masih ingat pertama kali menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Saat itu saya tidak tahu apa – apa mengenai kampus ini. Sebagian teman – teman saya memiliki saudara atau orangtua yang kuliah atau menjadi dosen, bahkan alumni dari  kampus ini. Namun, tidak dengan saya.

            Sebelum saya masuk kampus ini atau resmi menjadi mahasiswa, saya sudah sering berselancar di media sosial untuk mengetahui kehidupan di kampus ini. Kemudian, saya melihat sebuah organisasi yang dinamakan Asian Medical Students’ Association Christian University of Indonesia atau lebih sering disingkat menjadi AMSA-UKI.

            Lalu, saya memutuskan untuk bergabung.

            Hingga sampailah saya mengikuti salah satu acara nasional atau lebih sering disebut dengan National Event yang dimiliki oleh AMSA Indonesia, yaitu National Action Even (NAE) yang tahun ini diadakan oleh AMSA-UNSYIAH di Banda Aceh. Untuk pertama kalinya saya mengikuti National Event bukan sebagai delegasi biasa, melainkan sebagai peserta kompetisi debat. Banyak pengalaman yang saya dapatkan, yang mungkin tidak pernah akan saya lupakan.


            Saya selalu bersyukur bisa bergabung dengan organisasi ini, hingga saya menulis tulisan ini.




























































"You call it organization, We call it family"