Deru angin menerpa wajahku, juga wajahnya di
sampingku. Sinar matahari senja juga ikut menyirami wajah kami, seolah
memberikan salam perpisahan. Perasaan tenang meliputi sekujur tubuhku, entah
bagaimana dengannya.
Kuucapkan
sebuah doa dalam hati dan mengatur napasku. Untuk kali pertama di dalam
kehidupanku, berada di titik ini tidak membuatku takut. Tidak ada keraguan
sedikit pun. Degup jantungku yang tadinya berpacu cepat, tenang seperti keadaan
normal.
Dista
meliriku, dan bertanya, “Kamu yakin?”
Aku mengangguk mantap.
***
Hubunganku
dengan Dista semakin hari semakin erat. Bukan waktu yang sebentar. Sudah sangat
lama aku ingin memiliki status sebagai sepasang kekasih. Tidak mudah untuk
menjaga hubungan ini. Selalu ada goncangan yang menerpa. Sesekali kami larut
dalam ego masing – masing, membuat rengganggnya jarak di antara kami, namun
pada akhirnya semua akan baik – baik saja. Seolah aku dan Dista memang sejak
awal sudah dipersatukan.
Pertama
kali kami bertemu adalah ketika pertama kali kami memakai seragam putih abu –
abu. Aku sangat merindukan masa – masa seperti itu. Banyak orang yang
mengatakan kalau masa SMA adalah saat yang paling berharga dalam kehidupanmu.
Awalnya aku tidak yakin. Tidak percaya akan pernyataan seperti itu. Namun,
belakangan aku sadar. Bukannya aku tidak percaya, melainkan aku yang memilih
untuk tidak percaya.
Ibu
dan Ayahku terlibat kasus korupsi, yang sampai sekarang aku tidak tahu
bagaimana tepat kronologisnya. Apa Ayah yang menjadi pelaku dan nama Ibu
terseret atau sebaliknya aku tidak tahu. Yang pasti karena musibah yang
dinamakan “korupsi”, membuat aku dan keluarga terpaksa pindah ke sebuah desa
terpencil yang terletak di kota Pontianak. Sampai sekarang pula aku tidak tahu
alasan mereka memilih desa Arion sebagai tempat persembunyian.
Di
saat aku pindah ke desa ini, bersamaan dengan waktunya bagiku untuk duduk di
bangku SMA. Sekolah yang dipilihkan orangtuaku adalah sekolah negeri. Para
murid yang bersekolah di sini berasal dari berbagai macam SMP. Aku sempat
mengira semua akan baik – baik saja, tapi sayangnya tidak! Aku lupa kalau
SMA-ku yang baru ada di sebuah desa, bukan kota. Hanya ada satu SMA di desa
ini. Dengan mudahnya aku tampak “berbeda”.
Ini
juga membingungkan. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi dengan segera
mereka tahu kalau aku adalah orang “kaya”. Begitu pendapat mereka. Mungkin
mereka sebagai orang desa memiliki pandangan yang buruk terhadap anak kota
sepertiku. Ayolah, apa salahnya?
Belum
genap satu minggu aku sudah mengalami penindasan. Mereka tidak main fisik.
Namun, dengan perkataan. Jangankan dengan ucapan, dari cara mereka menatapku
saja sudah bisa dibilang mereka menganggap aku aneh. “Pake mata dong, Bodat!”
Seru mereka saat aku tidak sengaja menabrak mereka. Sesungguhnya itu bukan
salahku, siapa yang suruh mereka untuk bercanda di jalan? Aku lapar dan aku
harus segera ke kantin.
Hampir
satu kelas “memusuhiku” tanpa aku tahu alasannya. Sebenarnya gara – gara
hasutan anak badung itu. David. Siswa di kelasku yang tidak suka dengan
keberadaanku, entah kenapa. Sialnya, dia adalah anak yang dengan sengaja aku
terobos saat mau ke kantin. Rupanya David bisa di bilang di sekolah ini sebagai
orang yang disegani. Badannya besar dan bulat, namun mulutnya begitu manis.
Memengaruhi beberapa orang untuk membenciku. Bodohnya lagi ada saja orang –
orang yang memberi diri untuk dihasut.
“Lo
yang sabar ya, anak – anak di sini emang pada gitu.” Rangga mencoba untuk
menghiburku. Bisa dibilang ia adalah satu – satunya temanku di sekolah ini.
Lelaki kurung denga wajah yang tirus pula ini menjadi sahabatku yang setiap.
Menyedihkannya, ia juga menjadi musuh, maaf maksudku korban dari David. Setelah
kucari tahu, ternyata David membenci Rangga karena ibu Rangga adalah pembantu
rumah tangga di rumah David.
Hampir
setiap hari berjalan seperti ini. Jika aku dan Rangga berjalan di koridor yang
penuh dengan murid laki – laki sedang berkumpul, pasti kami menjadi sasaran
mereka untuk mempermainkan, serta mengolok – ngolok kami. Mereka tidak main
fisik karena kepala sekolah kami sudah berjanji akan menindaklanjuti segala hal
yang berbau kekerasan. Senjata ampuh mereka adalah mulut mereka.
“Udah
lah, Vin. Biarin aja. Toh, mereka gak nyentuh lo, kan?” Setiap kali emosiku
tersulut, Rangga selalu berusaha untuk menenangkanku. Sayangnya hampir setiap
hari emosiku terpancing, hampir setiap hari juga Rangga dengan segala
kekuatannya meredakan amarahku yang meluap – luap.
Ternyata
selama ini ada seorang siswi yang memperhatikanku. Waktu itu aku sedang
sendirian. Di perjalanan pulang aku tidak sengaja berpapasan dengan David dan
tiga orang pengikutnya. “WOI, Bodat. Hati – hati di jalan ya!” Serunya yang
diikuti gelak tawa para ajudannya. Dan meledak begitu saja. Aku berlari ke arah
David yang tengah tertawa – sampai lemak di pipinya menutupi kedua matanya,
sehingga ia tidak melihatku – dan menendangnya sampai jatuh. Hewan
peliharaannya dengan sigap menghajarku.
Aku
yang kalah jumlah sudah siap untuk pasrah. Siap untuk babak belur. Saat kepalan
tinju mereka hendak mengenaiku, aku sudah siap untuk membalas serangan mereka,
meski aku tahu kalau aku sudah kalah dalam jumlah.
“WOI!
BERHENTI!” Seru seorang perempuan memakai seragam SMA dari kejauhan. Membuat
David dan para pengikutnya segera pergi. “Lo gak apa – apa?” Sebuah suara
perempuan menyadarkanku. “Kok malah bengong, lo gak apa – apa, kan?” Baru kali ini selama aku tinggal di
desa Arion, ada perempuan cantik seperti dia. Dari logo dasinya menunjukkan
kalau ia berasal dari SMA yang sama denganku.
“Eh
iya, makasih ya.” Ucapku. Hebat juga perempuan ini, pikirku. Belum apa – apa
sudah berhasil mengusir Iblis.
“Nama gue Dista. Lo Kevin, kan?” Tebaknya.
“Kok
lo tahu?” Tanyaku dengan bingung.
“Iyalah.
Satu sekolah juga tahu lo. Pendatang baru di sini.” Benar, kan? Aku memang
terkenal di sini. Sebagai orang benar yang datang ke tempat yang aneh.
Mulai
dari peristiwa ini aku semakin mengenalnya, Dista. Selama ini aku tidak pernah
melihat keberadaannya di sekolah, karena aku yang terlalu sibuk ditindas. Tidak
ada kesempatan bagiku untuk mengenal lebih jauh seisi sekolahku. Teman satu
kelasku saja tidak ada yang kuhafal. Wajah mereka terlihat sama semua. Kecuali
David sebagai pemimpinnya.
“Serius,
lo? Trus David sama temen – temennya gimana?” Mata Rangga melotot begitu
mendengar ceritaku.
“Iya,
heran gue juga. Tiba – tiba aja dia datang, dan David langsung lari.”
“Dista
itu atlet karate, Vin. Tuh cewek yang bawa nama SMP kita jadi terkenal. Dia tuh
jago banget. Pokoknya gak terkalahkan deh di desa ini.” Pantas saja.
***
Semakin
hari hubunganku dengan Dista semakin akrab. Tidak jarang aku, Rangga, serta
Dista keluar untuk jalan bersama. Persahabatan kami semakin erat. Akhirnya aku
menemukan alasan yang tepat bagiku untuk bersyukur dapat pindah ke desan
terpencil ini.
Musuh
– musuhku, David dan para pengikut setianya juga sudah mundur dari jangkauan
pandangku. Rupanya orangtua Dista adalah pemilik perusahaan mabel tempat
Ayahnya David bekerja. Semakin lega rasanya, namun aku juga terkadang menjadi
malu karena dilindung oleh Dista. Bahkan, bukan Dista yang melindungiku,
melainkan statusnya.
Aku
ingin terus seperti ini, merasakan kebahagiaan ini. Memandang Dista setiap
hari. Berada di dekatnya setiap saat. Merasakan kenyamanan yang baru pertama
kali aku rasakan. Semakin hari aku semakin tenggelam saja.
Tidak
ada yang dapat menyelamatkanku dari jeratan cinta Dista.
Tidak
ada.
Kecuali…
***
Jantungku
berhenti berdetak untuk pertama kalinya. Belakang leherku terasa panas. Wajahku
pucat pasi. Seolah – olah darah berhenti mengalir di dalam pembuluh darahku.
Aku tidak pernah bepikir kalau hari ini akan tiba.
Aku
takut untuk menghadapinya.
Kedua
orangtuaku terbaring lemah tak berdaya di lantai. Darah ada di mana – mana. Aku
tak kuasa melihatnya. Kedua lututku terasa lemas. Tidak mampu untuk berpikir.
Otakku seakan – akan tidak mau bekerja. Senang melihatku menderita seperti ini.
“LARI!
Kevin, kamu harus pergi!” Jerit Ayahku di tengah – tengah nafas terakhirnya.
Tenaga terakhirnya ia gunakan untuk menyuruhku pergi. Di sampingnya Ibu sudah
terbaring begitu saja. Terlalu ngeri untuk mereka – reka apa yang terjadi
dengannya.
Rasa
sesak dan gemuruh yang bergejolak membuatku tidak tahu harus memutuskan apa –
apa. Ingin sekali berteriak kencang. Meluapkan amarah serta emosi yang berhasil
mengusaiku. Sungguh, aku tidak berdaya.
“Kevin,
ayo cepat! Mereka datang!” Ajakan Dista membuyarkan lamunanku. Kami berdua segera
berlari dari rumahku. Dista meraih tanganku sambil berlari. Aku melirik ke
belakang, mendapati tiga orang pria bertopeng hitam mengejar kami sembari membawa
pisau yang ternoda darah. Melihat pisau itu membuatku semakin lemas
membayangkan kejadian yang terjadi sebelum kami datang.
Dista
membawaku lari sampai ke dalam hutan. Aku dapat merasakan kegetiran yang ia
alami. Tangannya berkeringat. Sampai beberapa kali genggaman tangannya hampir
terlepas.
Tibalah
kami di atas air terjun di belakang desa. Dista menoleh ke arahku. Wajahnya tak
kalah pucatnya denganku. Dalam hati aku bertanya, mengapa ia membawaku ke sini.
Aku yakin Dista juga tidak tahu apa yang ia perbuat. Kepanikan telah
menyelimuti benaknya. Sampai tidak tahu harus pergi atau kabur ke mana.
“Mereka
datang!” Seru Dista dengan panik. Aku menoleh ke belakang dan mendapati jarak
kami berdua dengan para perampok hanya tinggal beberapa meter saja.
Aku
memberanikan diri, juga dengan pasrah tanpa harapan berlari ke tepi air terjun.
Dista mengikutiku.
Deru
angin menerpa wajahku, juga wajahnya di sampingku. Sinar matahari senja juga
ikut menyirami wajah kami, seolah memberikan salam perpisahan. Tiba – tiba perasaan
tenang meliputi sekujur tubuhku, entah bagaimana dengannya. Seakan tubuhku
sudah siap. Sangat siap.
Tidak
kukira hubunganku dan Dista akan seperti in. Padahal, kami baru saja
memulainya. Aku baru saja hendak mengenalkan Dista denga orangtuaku.
Kuucapkan
sebuah doa dalam hati dan mengatur napasku. Untuk kali pertama di dalam
kehidupanku, berada di titik ini tidak membuatku takut. Tidak ada keraguan
sedikit pun. Degup jantungku yang biasanya berpacu cepat, tenang seperti
keadaan normal.
Dista
meliriku, dan bertanya, “Kamu yakin?”
Aku mengangguk mantap.
Kemudian, kami membiarkan
diri kami terjun bebas.
***