Rabu, 20 Juli 2016

Yang Hilang

            Deru angin menerpa wajahku, juga wajahnya di sampingku. Sinar matahari senja juga ikut menyirami wajah kami, seolah memberikan salam perpisahan. Perasaan tenang meliputi sekujur tubuhku, entah bagaimana dengannya.

            Kuucapkan sebuah doa dalam hati dan mengatur napasku. Untuk kali pertama di dalam kehidupanku, berada di titik ini tidak membuatku takut. Tidak ada keraguan sedikit pun. Degup jantungku yang tadinya berpacu cepat, tenang seperti keadaan normal.

            Dista meliriku, dan bertanya, “Kamu yakin?”

Aku mengangguk mantap.

***

            Hubunganku dengan Dista semakin hari semakin erat. Bukan waktu yang sebentar. Sudah sangat lama aku ingin memiliki status sebagai sepasang kekasih. Tidak mudah untuk menjaga hubungan ini. Selalu ada goncangan yang menerpa. Sesekali kami larut dalam ego masing – masing, membuat rengganggnya jarak di antara kami, namun pada akhirnya semua akan baik – baik saja. Seolah aku dan Dista memang sejak awal sudah dipersatukan.

            Pertama kali kami bertemu adalah ketika pertama kali kami memakai seragam putih abu – abu. Aku sangat merindukan masa – masa seperti itu. Banyak orang yang mengatakan kalau masa SMA adalah saat yang paling berharga dalam kehidupanmu. Awalnya aku tidak yakin. Tidak percaya akan pernyataan seperti itu. Namun, belakangan aku sadar. Bukannya aku tidak percaya, melainkan aku yang memilih untuk tidak percaya.

            Ibu dan Ayahku terlibat kasus korupsi, yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana tepat kronologisnya. Apa Ayah yang menjadi pelaku dan nama Ibu terseret atau sebaliknya aku tidak tahu. Yang pasti karena musibah yang dinamakan “korupsi”, membuat aku dan keluarga terpaksa pindah ke sebuah desa terpencil yang terletak di kota Pontianak. Sampai sekarang pula aku tidak tahu alasan mereka memilih desa Arion sebagai tempat persembunyian.

            Di saat aku pindah ke desa ini, bersamaan dengan waktunya bagiku untuk duduk di bangku SMA. Sekolah yang dipilihkan orangtuaku adalah sekolah negeri. Para murid yang bersekolah di sini berasal dari berbagai macam SMP. Aku sempat mengira semua akan baik – baik saja, tapi sayangnya tidak! Aku lupa kalau SMA-ku yang baru ada di sebuah desa, bukan kota. Hanya ada satu SMA di desa ini. Dengan mudahnya aku tampak “berbeda”.

            Ini juga membingungkan. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi dengan segera mereka tahu kalau aku adalah orang “kaya”. Begitu pendapat mereka. Mungkin mereka sebagai orang desa memiliki pandangan yang buruk terhadap anak kota sepertiku. Ayolah, apa salahnya?

            Belum genap satu minggu aku sudah mengalami penindasan. Mereka tidak main fisik. Namun, dengan perkataan. Jangankan dengan ucapan, dari cara mereka menatapku saja sudah bisa dibilang mereka menganggap aku aneh. “Pake mata dong, Bodat!” Seru mereka saat aku tidak sengaja menabrak mereka. Sesungguhnya itu bukan salahku, siapa yang suruh mereka untuk bercanda di jalan? Aku lapar dan aku harus segera ke kantin.

            Hampir satu kelas “memusuhiku” tanpa aku tahu alasannya. Sebenarnya gara – gara hasutan anak badung itu. David. Siswa di kelasku yang tidak suka dengan keberadaanku, entah kenapa. Sialnya, dia adalah anak yang dengan sengaja aku terobos saat mau ke kantin. Rupanya David bisa di bilang di sekolah ini sebagai orang yang disegani. Badannya besar dan bulat, namun mulutnya begitu manis. Memengaruhi beberapa orang untuk membenciku. Bodohnya lagi ada saja orang – orang yang memberi diri untuk dihasut.

            “Lo yang sabar ya, anak – anak di sini emang pada gitu.” Rangga mencoba untuk menghiburku. Bisa dibilang ia adalah satu – satunya temanku di sekolah ini. Lelaki kurung denga wajah yang tirus pula ini menjadi sahabatku yang setiap. Menyedihkannya, ia juga menjadi musuh, maaf maksudku korban dari David. Setelah kucari tahu, ternyata David membenci Rangga karena ibu Rangga adalah pembantu rumah tangga di rumah David.

            Hampir setiap hari berjalan seperti ini. Jika aku dan Rangga berjalan di koridor yang penuh dengan murid laki – laki sedang berkumpul, pasti kami menjadi sasaran mereka untuk mempermainkan, serta mengolok – ngolok kami. Mereka tidak main fisik karena kepala sekolah kami sudah berjanji akan menindaklanjuti segala hal yang berbau kekerasan. Senjata ampuh mereka adalah mulut mereka.

            “Udah lah, Vin. Biarin aja. Toh, mereka gak nyentuh lo, kan?” Setiap kali emosiku tersulut, Rangga selalu berusaha untuk menenangkanku. Sayangnya hampir setiap hari emosiku terpancing, hampir setiap hari juga Rangga dengan segala kekuatannya meredakan amarahku yang meluap – luap.

            Ternyata selama ini ada seorang siswi yang memperhatikanku. Waktu itu aku sedang sendirian. Di perjalanan pulang aku tidak sengaja berpapasan dengan David dan tiga orang pengikutnya. “WOI, Bodat. Hati – hati di jalan ya!” Serunya yang diikuti gelak tawa para ajudannya. Dan meledak begitu saja. Aku berlari ke arah David yang tengah tertawa – sampai lemak di pipinya menutupi kedua matanya, sehingga ia tidak melihatku – dan menendangnya sampai jatuh. Hewan peliharaannya dengan sigap menghajarku.

            Aku yang kalah jumlah sudah siap untuk pasrah. Siap untuk babak belur. Saat kepalan tinju mereka hendak mengenaiku, aku sudah siap untuk membalas serangan mereka, meski aku tahu kalau aku sudah kalah dalam jumlah.

            “WOI! BERHENTI!” Seru seorang perempuan memakai seragam SMA dari kejauhan. Membuat David dan para pengikutnya segera pergi. “Lo gak apa – apa?” Sebuah suara perempuan menyadarkanku. “Kok malah bengong, lo gak apa – apa,  kan?” Baru kali ini selama aku tinggal di desa Arion, ada perempuan cantik seperti dia. Dari logo dasinya menunjukkan kalau ia berasal dari SMA yang sama denganku.

            “Eh iya, makasih ya.” Ucapku. Hebat juga perempuan ini, pikirku. Belum apa – apa sudah berhasil mengusir Iblis.

             “Nama gue Dista. Lo Kevin, kan?” Tebaknya.

            “Kok lo tahu?” Tanyaku dengan bingung.

            “Iyalah. Satu sekolah juga tahu lo. Pendatang baru di sini.” Benar, kan? Aku memang terkenal di sini. Sebagai orang benar yang datang ke tempat yang aneh.

            Mulai dari peristiwa ini aku semakin mengenalnya, Dista. Selama ini aku tidak pernah melihat keberadaannya di sekolah, karena aku yang terlalu sibuk ditindas. Tidak ada kesempatan bagiku untuk mengenal lebih jauh seisi sekolahku. Teman satu kelasku saja tidak ada yang kuhafal. Wajah mereka terlihat sama semua. Kecuali David sebagai pemimpinnya.

            “Serius, lo? Trus David sama temen – temennya gimana?” Mata Rangga melotot begitu mendengar ceritaku.

            “Iya, heran gue juga. Tiba – tiba aja dia datang, dan David langsung lari.”

            “Dista itu atlet karate, Vin. Tuh cewek yang bawa nama SMP kita jadi terkenal. Dia tuh jago banget. Pokoknya gak terkalahkan deh di desa ini.” Pantas saja.

***
            Semakin hari hubunganku dengan Dista semakin akrab. Tidak jarang aku, Rangga, serta Dista keluar untuk jalan bersama. Persahabatan kami semakin erat. Akhirnya aku menemukan alasan yang tepat bagiku untuk bersyukur dapat pindah ke desan terpencil ini.

            Musuh – musuhku, David dan para pengikut setianya juga sudah mundur dari jangkauan pandangku. Rupanya orangtua Dista adalah pemilik perusahaan mabel tempat Ayahnya David bekerja. Semakin lega rasanya, namun aku juga terkadang menjadi malu karena dilindung oleh Dista. Bahkan, bukan Dista yang melindungiku, melainkan statusnya.

            Aku ingin terus seperti ini, merasakan kebahagiaan ini. Memandang Dista setiap hari. Berada di dekatnya setiap saat. Merasakan kenyamanan yang baru pertama kali aku rasakan. Semakin hari aku semakin tenggelam saja.

            Tidak ada yang dapat menyelamatkanku dari jeratan cinta Dista.

            Tidak ada.

            Kecuali…

***

            Jantungku berhenti berdetak untuk pertama kalinya. Belakang leherku terasa panas. Wajahku pucat pasi. Seolah – olah darah berhenti mengalir di dalam pembuluh darahku. Aku tidak pernah bepikir kalau hari ini akan tiba.

            Aku takut untuk menghadapinya.

            Kedua orangtuaku terbaring lemah tak berdaya di lantai. Darah ada di mana – mana. Aku tak kuasa melihatnya. Kedua lututku terasa lemas. Tidak mampu untuk berpikir. Otakku seakan – akan tidak mau bekerja. Senang melihatku menderita seperti ini.

            “LARI! Kevin, kamu harus pergi!” Jerit Ayahku di tengah – tengah nafas terakhirnya. Tenaga terakhirnya ia gunakan untuk menyuruhku pergi. Di sampingnya Ibu sudah terbaring begitu saja. Terlalu ngeri untuk mereka – reka apa yang terjadi dengannya.

            Rasa sesak dan gemuruh yang bergejolak membuatku tidak tahu harus memutuskan apa – apa. Ingin sekali berteriak kencang. Meluapkan amarah serta emosi yang berhasil mengusaiku. Sungguh, aku tidak berdaya.

            “Kevin, ayo cepat! Mereka datang!” Ajakan Dista membuyarkan lamunanku. Kami berdua segera berlari dari rumahku. Dista meraih tanganku sambil berlari. Aku melirik ke belakang, mendapati tiga orang pria bertopeng hitam mengejar kami sembari membawa pisau yang ternoda darah. Melihat pisau itu membuatku semakin lemas membayangkan kejadian yang terjadi sebelum kami datang.

            Dista membawaku lari sampai ke dalam hutan. Aku dapat merasakan kegetiran yang ia alami. Tangannya berkeringat. Sampai beberapa kali genggaman tangannya hampir terlepas.

            Tibalah kami di atas air terjun di belakang desa. Dista menoleh ke arahku. Wajahnya tak kalah pucatnya denganku. Dalam hati aku bertanya, mengapa ia membawaku ke sini. Aku yakin Dista juga tidak tahu apa yang ia perbuat. Kepanikan telah menyelimuti benaknya. Sampai tidak tahu harus pergi atau kabur ke mana.

            “Mereka datang!” Seru Dista dengan panik. Aku menoleh ke belakang dan mendapati jarak kami berdua dengan para perampok hanya tinggal beberapa meter saja.

            Aku memberanikan diri, juga dengan pasrah tanpa harapan berlari ke tepi air terjun. Dista mengikutiku.

            Deru angin menerpa wajahku, juga wajahnya di sampingku. Sinar matahari senja juga ikut menyirami wajah kami, seolah memberikan salam perpisahan. Tiba – tiba perasaan tenang meliputi sekujur tubuhku, entah bagaimana dengannya. Seakan tubuhku sudah siap. Sangat siap.

            Tidak kukira hubunganku dan Dista akan seperti in. Padahal, kami baru saja memulainya. Aku baru saja hendak mengenalkan Dista denga orangtuaku.

            Kuucapkan sebuah doa dalam hati dan mengatur napasku. Untuk kali pertama di dalam kehidupanku, berada di titik ini tidak membuatku takut. Tidak ada keraguan sedikit pun. Degup jantungku yang biasanya berpacu cepat, tenang seperti keadaan normal.

            Dista meliriku, dan bertanya, “Kamu yakin?”

Aku mengangguk mantap.

Kemudian, kami membiarkan diri kami terjun bebas.


***

Catatan di Waktu Senggang

            Puluhan tahun aku menanti hari ini
            Sudah terlalu lama aku rindu akan aura seperti ini
            Aku merindukanmu sayang
            Sangat ingin mendekap dalam pelukanmu
           
            Gemuruh ini akhirnya dapat bebas
            Berbagai macam gejolak berhasil kuhempaskan
            Tidak mampu lagi ku menahannya
            Aku bahagia, sungguh

            Deru angin pantai menghantam wajahku
            Bau laut yang khas menyeruak masuk ke hidungku
            Suara ombak menghantam karang berebut masuk ke kupingku
            Sinar mentari sore menyirami wajahmu

            Aku mencintaimu, sungguh
           
            Tenggelam dalam lautan asmara yang kau buat



-          Catatan di waktu senggang -     

Minggu, 10 Juli 2016

Dunia yang Membodohkan

Sudah cukup lama aku tidak menulis. Banyak hal yang membuat aku tidak “mampu”mengembangkan kemampuanku. Aku tidak mengatakan kalau aku adalah seorang penulis handal. Namun, aku tahu bahwa melalui tulisan aku bisa berbicara. Dengan menulis aku dapat menyampaikan isi kepalaku tanpa perlu melakukan demo atau mungkin melalui video yang diunggah ke sosial media seperti yang dilakukan kebanyakan anak muda di era ini.

            Pada aksi “comeback” yang kulakukan kali ini, aku memberi judul Dunia yang Membodohkan. Sebuah fakta yang kudapatkan dari Alkitab, yang aku yakin tidak semua orang menyadarinya.

            Semua bermula dari perselisihan antara Lot dan Abraham. Di Kejadian 13:10 dikatakan “Lalu Lot melayangkan pandangnya dan dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN, seperti tanah Mesir, sampai ke Zoar. --Hal itu terjadi sebelum TUHAN memusnahkan Sodom dan Gomora.  –” Di perselisihan ini Abraham, yang saat itu masih bernama Abram memutuskan untuk mengalah. Membiarkan Lot memilih Lembah Yordan, yang menurut Lot menjanjikan untuk dijadikan tempat tinggal.

            Bisa dikatakan Lot melihat sesuatu yang baik untuk ia dan keluarganya. Dengan matanya, ia memilih Lembah Yordan di mana ada kota Sodam dan Gomora. Alkitab menyatakan bahwa "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah" (1 Sam. 16:7). Lot hanya melihat lembah yang berkelimpahan air. Allah melihat penduduk Sodom yang "sangat jahat dan berdosa" (ayat Kej. 13:13).

            Di Kejadian 19:8 Lot berkata, “Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang-orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di dalam rumahku.” Pertanyaan yang pertama kali muncul di benak saya adalah bagaimana mungkin Lot bisa berkata demikian. Padahal Lot adalah keturunan dari Sem, anak dari Nuh yang memberi hormat pada Ayahnya. Tentunya Lot berasal dari keturunan yang mengasihi Tuhan.

            Bukan sampai situ saja. Di Kejadian 19:35, “Demikianlah juga pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun.” Dampak yang ada bukan hanya terjadi pada Lot, namun juga pada kedua anak perempuan Lot. Sungguh menyedihkan dan memprihatinkan.

            Benarlah apa yang dikatakan firman Tuhan, pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.

            Dunia yang membodohkan.

            Aku menulis ini semua bukan karena “anak pelayanan”, “rohani”, dan julukan – julukan lain yang terkesan baik. Melainkan aku memang harus menulis kebenaran ini.


            Aku sebagai penulis mempersilahkan pembaca untuk mengambil kesimpulan dan memikirkan seperti apa contoh di kehidupan kalian. Tuhan memberkati.