Jumat, 23 Januari 2015

Cinta Tanpa Syarat

Cinta. Satu kata sederhana. Tapi tidak sesederhana itu isinya. Mampu menghancurkan hubungan sepasang sahabat. Mampu membuat hati remuk. Mampu merubah tabiat seseorang.
           
Bahkan mampu membuat takut untuk mencinta lagi.
***
            Cuaca hari ini cukup bersahabat. Setelah beberapa hari lalu hujan mengguyur Jakarta, kini setidaknya ada istirahat sejenak. Ada waktu yang dapat kugunakan untuk menikmati semburat cahaya matahari. Aku bersyukur adanya hari secerah ini. Hari di mana tidak ada lagi hujan. Kalau boleh jujur, aku benci hujan.

            Hujan mengingatkanku akan peristiwa itu. Peristiwa yang mampu memporak – porandakan hidupku. 17 September 2011. Sebisa mungkin aku menghindari hujan. Itu berarti aku hanya memiliki matahari. Cuma ada dua pilihan.

            Sama seperti . . . take it or leave it. Tidak ada pilihan lain.

            Bagiku matahari itu adalah sumber kehidupan. Salah satu Mahakarya dari sang Pencipta. Matahari juga memancarkan kekuatan bagiku. Kekuatan untuk menghadapi perkara memilukan ini. Melawan konsekuensi atas pilihan yang terpaksa aku ambil.

Aku tidak pernah menginginkan pilihan tersebut. Tapi, aku ditakdirkan untuk memilih.

Siska!” Terdengar suara memanggil namaku. Kubuka pintu. Mendapati Nina di baliknya. 

“Hei! Ayo masuk.” Senang rasanya melihat dia.

Nina. Sahabatku dari kecil. Awalnya sebelum menjalin hubungan sebagai sepasang sahabat dengannya aku juga memiliki banyak teman baik. Namun, cuma ada satu sebagai yang terbaik. Aku tidak akan menceritakan kepada kalian mengapa akhirnya Nina yang menjadi sahabat baikku, karena bukan itulah intinya. Yang jelas ia ada di saat dukaku. Seperti berakhirnya hubunganku dengan Mario. Nina ada di sampingku untuk membuatku tetap tegar. Meski kepedihan yang kurasakan tidak berkurang sedikit pun.

Ka, gue dapet banyak info baru!” Seru Nina. Langsung aku sambut baik. Di otakku mulai menerka – nerka info seperti apa yang ia dapat.

Ketika berakhirnya masa SMP, aku dan Nina memilih sekolah yang berbeda. Nina mendapatkan sekolah negeri. Sedangkan aku swasta. Itu juga berarti aku berpisah sekolah dengan Mario. Walau kami sudah putus hubungan, tetapi aku masih sering mengamatinya dari jarak jauh. Masih ada rindu yang tersisa. Tidak mungkin aku melupakannya begitu saja. Terlalu banyak kenangan manis antara aku dan Mario. Tak tega aku membuangnya.

Beruntung bagiku. Nina mendapatkan sekolah yang sama dengan Mario. Apalagi Mario satu ektrakurikuler dengan Nina. Karate. Secara tidak langsung aku dapat mengetahui segala sesuatu yang terjadi dengan Mario. Dan juga menjadikan Nina sebagai mata – mataku. Terdengar jahat memang, tetapi seperti yang sebelumnya kuceritakan. Aku tidak memiliki pilihan lain. Aku teramat merindukannya.

“Info apa, Na?” Tanyaku. Senyum mengembang di wajahku.

Aku menangkap kegetiran di kedua mata Nina. Kedua sudut bibirnya yang  tadi terangkat, kini menghilang. Tatapan matanya juga berubah. Aku kenal ini. Pandangan yang mengasihaniku. Memprihatinkan.

Akan ada berita buruk yang kuterima.

“Lo yakin mau denger?” Nina memastikan. Aku semakin yakin. Apapun yang terjadi aku harus siap. Aku mengangguk mantap. Bersiap akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ok. Ada dua berita yang gue bawa. Pertama, Mario udah punya cewek baru.” Sesuatu menghantam kepalaku. Terasa pening. Seolah ada yang menyerap kehidupanku. Tidak menyisakan apa – apa lagi. Kedua mataku perih. Siap untuk tumpah ruah.

“Lo udah siap buat denger yang kedua, Ka?” Sepertinya berita kedua lebih menyakitkan. Yang pertama saja sudah hampir membuatku mati. “Gue siap.” Kataku berusaha tegar dan menutupi kegetiran di suaraku.

Mario ternyata punya penyakit di saluran pernapasannya. Umur dia udah nggak lama lagi.”

***
            Semuanya berhenti. Dunia berhenti berputar. Jam berhenti berdetak. Benar – benar sunyi. Sampai – sampai aku mampu mendengar suara tarikan napas kusendiri.

            Kalimat terakhir yang kudengar dari mulutnya masih berusaha kucerna. Perlahan, aku mulai paham. Sangat pahan. Terpancar jelas maksudnya dari ucapannya.

            Gue mau kita putus. Kalimat yang sederhana. Tapi sanggup menusuk jantungku.

            Kutatap dia. Kuamati baik – baik setiap lekukan wajahnya. Belum pernah aku melihatnya dari jarak sedekat ini. Sejak kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih sampai sekarang. Karena inilah kesempatan terakhirku untuk melihatnya. Melihat tatapan matanya yang menenangkan. Mendengar suaranya yang melegakan. Setelah waktu ini, tak ada lagi yang tersisa untukku.

            Pada awalnya aku sudah menduga ada yang tidak beres. Gelagatnya yang mencurigakan. Ia yang mengajakku untuk bertemu tanpa alasan yang jelas. Namun, aku mengikuti kemauannya. Mungkin jika aku tidak datang malam ini, hubungan kami tidak akan berakhir. Atau mungkin akan tetap berakhir tetapi dengan cara yang berbeda?

            “Maafin gue, Sis.” Ekspresinya wajahnya benar – benar berbeda dari biasa. Baru sekali ini aku mendapati raut wajahnya seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

            “Tapi kenapa?” Tanyaku. Berusaha menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Kedua mataku terasa perih. Ya Tuhan! Jeritku dalam hati. Aku teramat mencintainya.

            Mario cuma diam. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak berani menatapku. Seperti ada yang ia sembunyikan. Kemudian ia berlalu pergi. Aku memandangi punggunggnya yang menjauh. Sampai siluet tubuhnya hilang di keramaian. Meninggalkanku sendiri di kafe ini.

            Aku ingat tempat ini. Tempat inilah di mana kami berdua mengikatkan diri dengan sebutan kekasih. Di tempat ini pula hubungan kami berakhir. Berawal dan berakhir di tempat yang sama. Tetapi lebih menyakitkan ketika ini semua berakhir.

            Entah mengapa setelah mendengar pernyataan Nina, sulit bagiku untuk meneteskan air mata. Padahal aku sangat terpukul. Mengetahui dengan mudahnya Mario melupakanku. Mencari penggantiku di hatinya. Dan yang terakhir. Penyakit yang selama ini di deritanya. Tanpa kuketahui.
            Jika nanti Mario benar – benar pergi, aku tidak ada di sampingnya. Yang ada malahan... “Siapa namanya?”

            “Anisza.” Jawab Nina. “Dia juga ikut ekskul Karate.” Tambahnya.

            Ya. Anisza mungkin yang akan berada di samping Mario nanti. Aku cemburu. Tak bisa kugapai dia. Aku masih mencintainya.

            Akan tetapi aku harus tetap berada di dekatnya. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak ingin menyesalinya.

            Aku akan pindah sekolah.
***

“Tapi kenapa, De? Dulu bukannya kamu ngotot mau sekolah di Al – Huda?” Tanya Mamaku begitu mengetahui niatku untuk pindah.

“Kalau di negeri gampang masuk PTN, Ma. Lagian kan sekarang sekolah negeri udah gratis.”

“Heran. Kok tumben – tumbennya kamu mikirin kuliah.” Jawab Mamaku. Rupanya Mama mencium bau yang ditutupi. Semoga saja berhasil.

“Al – Huda juga udah nggak bagus kok, Ma. Beda sama zamannya Kak Vivi dulu.” Kalau yang ini benar. Kak Vivi, kakak perempuanku yang dulu sekolah di Al – Huda. Kualitasnya memang menurun. Jadi setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong.

“Nanti Mama ngomongin sama Papa ya, De.” Syukurlah. Meskipun belum pasti, ini adalah berita bagus.

Ternyata Tuhan mendengar doaku. Papa mengizinkanku untuk pindah sekolah. Alasanku yang kuat membuat orangtuaku menyetujuinya.

Pada tahun 2012, semester dua, aku pindah sekolah. Kini, aku satu sekolah dengan Nina dan Mario. Juga Anisza. Aku benci mengakuinya.

            Aku berharap dengan kepindahanku ke sini dapat memperbaiki hubunganku dengan Mario. Bukannya aku mau merebut Mario kembali, hanya saja aku dan Mario dapat menjadi sepasang sahabat. Walau aku ingin meminta lebih.

            Sayangnya, semua itu tidak seperti yang aku harapkan.
***
Tiga bulan kemudian....                        

            Banyak yang mengatakan padaku usaiku terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan. Tugasku sekarang adalah belajar. Belum saatnya untuk mencinta. Cinta yang aku rasa cuma cinta monyet. Terserah orang mau bilang apa. Yang jelas, aku dapat membedakan antara suka dan cinta.

            Seperti yang aku alami dengan Mario. Aku kenal diriku. Benar mengetahui apa yang kuketahui. Terlebih apa yang kurasakan. Aku mencintainya. Bukan menyukainya. Terserah mereka jika mereka mengatakan aku masih kecil. Atau mengatakan aku tidak tahu apa itu cinta.

            Aku yakin. Aku mencintai Mario. Bukan menyukainya.

            Cinta juga membutuhkan perjuangan. Bukan hanya pernyataan. Pernyataan bisa saja berbohong, tetapi perjuangan tidak pernah berbohong.

            Aku rela pindah sekolah. Hal yang paling aku tidak suka, karena itu berarti aku harus beradaptasi lagi. Tetapi aku melakukannya demi Mario. Demi menyelamatkan hubungan kami. Membuat sebuah ikatan dengan sebutan sahabat.

            Mungkin sekarang aku merutuki keputusanku beberapa bulan lalu. Menyesali apa yang sudah kuminta pada orangtuaku. Kalau bisa, aku ingin kembali ke sekolah lamaku. Aku tahu, hal tersebut tidak akan pernah bisa terjadi lagi. Sekarang aku harus menerima konsekuensinya.

            Ini lebih buruk dari masa setelah hubungan kami berdua berakhir. Kalau dulu Mario masih suka menyapaku, sekarang menatap saja tidak sudi. Seolah ia jijik denganku. Ia seperti menghindar dariku.

            Aku belajar di kelas X – 6. Anisza berada di kelas X – 7. Mario berada di kelas X – 2. Itu berarti jika Mario ingin menemui Anisza, ia akan melewati kelasku dulu. Dan hal itu selalu terjadi setiap hari. Aku hanya bisa menahan air mata setiap kali melihat mereka berdua bercengkrama.

Tidak ada yang dapat aku lakukan. Sia – sia kepindahanku ke sini.

Bahkan, aku cuma membuatnya tambah berantakan.

Nina pernah memberi tahuku. Ia mendapat berita tersebut dari beberapa sumber kalau Anisza membenciku. Semenjak kepindahanku kemari, Anisza telah membenciku. Seakan tidak mau melihat keberadaanku di sekolah ini.

Entahlah. Aku sendiri juga bingung. Aku tidak pernah berbicara sepatah kata dengannya. Kalau berpapasan di jalan, ia selalu membuang muka. Nina juga pernah bilang, kalau mulut Anisza memang jahat. Di klub saja ia dibenci. Aku sempat berspekulasi, apa iya Mario menjadi sedingin ini padaku gara – gara Anisza menghasutnya?

Aku terlalu takut untuk mengira – ngira. Juga tidak berani asal tuduh. Selama ini, aku selalu bertanya – tanya. Mengapa Anisza membenciku keberadaanku di samping kelasnya? Apa karena ia takut akan merebut Mario kembali? Aku memang masih mencintai Mario, tetapi aku bukan perempuan perebut. Aku juga memikirkan perasaan Anisza jika aku melakukan hal tersebut.

Kebalikannya, Anisza tidak pernah memikirkan perasaanku. Dengan gamblangnya ia tertawa dengan Mario di depan mataku. Menggenggam tangannya. Melakukan hal semacam itu di hadapanku. Seolah ingin membuatku cemburu. Anisza juga membicarakanku di X – 7 bersama kawan – kawannya. Menjadikanku sebagai bahan gosip. Aku tidak tahu apa yang Anisza bicarakan tentangku, yang jelas sebagian besar para penghuni X – 7 seperti memandangku dengan tatapan merendah. Tatapan menghakimi seolah – olah aku adalah manusia yang paling bersalah. Mungkin saja Anisza mengatakan kalau aku ini perempuan penggoda? Suka – suka dia ingin berbicara apa. Aku tidak perduli.

Sampai detik ini, aku masih mencintai Mario. Selalu menyebut namanya di setiap doaku. Selalu berharap yang terbaik untuknya.

Aku ingin sekali move on. Melanjutkan hidupku yang masih panjang. Melupakan kenangan – kenangan pahit yang pernah menimpaku. Tak tahu mengapa, aku tidak mampu mengusir Mario dari lubuk hatiku yang terdalam. Padahal, ia sudah melakukannya terlebih dahulu.

Hari – hari berikutnya terasa lebih berat. Air mata yang aku tahan setiap kali melihat mereka berdua. Seolah – olah dunia ini milik mereka. Aku berdoa pada Tuhan semoga di saat terakhir Mario tutup mata, ada Anisza yang menemani. Bukan aku.

Yang terakhir ada sebuah pertanyaan yang selalu terngiang – ngiang di kepalaku. Belakangan aku tahu. Ini bukan pertanyaan. Melainkan sebuah pernyataan yang menari – nari di kepalaku. Mengingatkanku selalu.

Mengapa aku tidak bisa melupakanmu, jika kau tidak pernah melirikku sedikitpun?

Satu jawabannya.

Karena cinta.

Aku memang tidak bisa menggapai Mario. Mengharapkannya pulang juga tidak mungkin. Walau begitu aku terus berharap. Harapan yang ada memang tipis. Namun, tidak ada salahnya berharap.

Cintaku yang teramat besar tidak dapat kau balas. Tak mengapa. Aku melakukan semua itu, karena cinta.

Cinta yang tulus tanpa pamrih.

Cinta tanpa syarat.

  

Kamis, 01 Januari 2015

It's Time to Move







 Aku berjalan lurus tanpa arah. Berjalan melawan angin malam yang semakin menusuk tubuhku. Dingin memang. Apalagi berjalan tanpa jaket atau baju hangat. Tubuhku menggigil. Hidungku memerah. Aku melipat kedua tanganku di dada. Dadaku sesak.

Gamang. Namun, bukan fisik saja yang kurasa. Bukan hanya raga ini yang melawan serangan dari realitas ini, tapi juga batinku. Batinku turut berperang. Sayangnya, sudah kalah terlebih dulu.

London di malam hari memang indah. Lampu – lampu yang mulai menghiasi kota ini. Gedung – gedung pencakar langit terlihat megah di sini. Tidak ada bedanya dengan Jakarta. Hanya saja di sini lebih dingin. Kota ini juga ramai. Namun, bagiku terasa sepi. Aku yang aneh atau apa? Tapi memang sepi. Kosong. Hampa.

Kamu. Hanya kamu.

Semenjak kamu datang, kamu mengubah segalanya. Tapi kini, kau hancurkan segalanya. Cinta itu memang rumit, dengusku pahit. Tak dapat dijelaskan dengan logika. Sesuatu yang abstrak. Dideskripsikan seperti apa juga aku bingung. Kadang terasa manis. Kadang juga pahit. Penuh dengan kerumitan yang tak mudah untuk dimengerti.

Hingga beberapa waktu lalu, aku melihatmu bersama dia. Siapa dia? Mengapa kau begitu dekat dengannya? Dan….kamu tampak begitu dekat dengannya! Mesra sekali. Harusnya aku yang berada di situ. Aku yang berada di posisi dia. Menikmati cinta kita berdua. Bukan dia. Bukan. Hanya aku dan kau. Hanya kita. Ingat, tiga orang terlalu banyak untuk sebuah hubungan.

Pengkhianatan memang sakit. Lebih sakit dari tertusuk jarum. Pengkhinatan memberikan luka yang amat dalam. Luka yang sukar untuk diobati. Bahkan tidak ada obatnya. Atau belum ditemukan?

Apa kamu lupa dengan janji kita? Dalam suka, dalam duka. Kita bersama. Hadapi bersama. Apapun resikonya, kita tetap bersama. Tapi mengapa begini? Aku tak pernah menduga kau akan berbuat ini padaku.

Selama ini kau bermain api di belakangku. Selama ini kau berusaha membuat luka itu. Tak pernahkah kau merasa apa yang kurasakan? Melihatnya dengan mataku sendiri sangat sakit. Yang lebih menyakitkan, sahabatku juga terlibat. Kalian berdua berusaha meremukkan hatiku. Menghancurkanku!

“Aku bisa jelasin ini semua Jo, maafin aku. Aku hanya….”

Aku diam. Aku tidak butuh penjelasanmu. Tak butuh kamu membela diri. Bagaimanapun perselingkuhan itu tak dapat dibenarkan. Apa pun alasannya. Apa pun.

Kau pernah berkata padaku, akulah yang paling kau cinta. Akulah yang paling kau mau. Kamu salah. Bukan aku. Tapi dia. Dia yang paling kau cinta. Dia yang paling kau mau. Bukan aku. Mungkin dulu memang aku, tapi sekarang kau telah mencampakkanku. Mengganti namaku di hatimu yang terdalam.

Sabar. Aku hanya dapat bersabar. Hanya satu kata. Tapi tak mudah dijalani. Aku tidak bisa sesabar Bunda Theresa yang memiliki kesabaran tingkat tinggi. Bagaimana aku bisa sabar jika melihatmu bercumbu dengan sahabatku sendiri?

Sudah lama aku mengetahui perselingkuhan ini. Semenjak dua tahun terakhir kita saling mengikatkan diri dengan sebutan “kekasih”.

“Kenapa kamu nggak cegah aku? Kenapa kamu gak bilang dari dulu? Kalau kamu bilang pasti aku bisa sadar. Ini semua salah kamu!”

Kamu menyalahkan aku? Cinta memang aneh. Sulit dijelaskan dengan logika. Kamu merasa aku yang salah. Lucu sekali. Mudah sekali untuk memutar balikkan fakta. Aku hanya berdoa pada Tuhan. Agar Dia tunjukkan jalan yang benar. Jalan yang harus aku tempuh. Membencimu? Melupakanmu? Atau menyayangimu lagi setelah aku tahu perselingkuhan ini?

“Sori Jo, gue tahu gue salah. Gue nusuk lo dari belakang. Please, denger gue dulu..”

Udah Ger. Lo nggak usah cerita apa – apa lagi. Bagi gue semua ini udah jelas. Cindy udah cerita sama gue dari dulu. Gue diem karena gue mau lihat tindakan kalian selanjutnya. Berubah atau semakin memadu cinta di belakang gue. Nyatanya, makin parah !

Setelah lulus SMA aku dan Gerry masuk Universitas yang sama, jurusan yang sama. Di Universitas ini aku dan Gerry berteman dengan Cindy dan Vika. Kita selalu menghabiskan waktu bersama. Kemana – mana pasti bersama. Kita saling cerita satu sama lain. Masalah keluarga, masalah percintaan, bahkan masalah keuangan. Senang maupun susah kita selalu bersama.

Suatu hari aku udah memutuskan ini. Aku yakin aku benar –benar jatuh cinta dengan Vika. Aku ingin menyatakan langsung padanya. Aku ingin suasana itu menjadi suasana romantis seperti cerita di novel – novel atau cerpen – cerpen yang aku buat. Ingin membuat Vika tidak punya pilihan lain selain menerima aku sebagai kekasihnya. Terdengar memaksa memang, tapi aku tidak mau terlambat.

Aku ceritakan semuanya pada Gerry dan Cindy. Mereka setuju. Mereka ingin membantu. Baguslah. Mereka memang sahabat yag baik.

Cindy yang memilihkan tempat. Gerry yang mengajariku cara menyatakan cinta mengingat Gerry merupakan seorang playboy di masa SMA. Butuh waktu yang lama bagi Gerry untuk mengajariku. Karena Vika adalah First Love-ku, aku mau semuanya sempurna. Itulah alasannya aku rela belajar berjam – jam bersama Gerry agar dapat terlihat sempurna di mata Vika malam itu. Mulai dari gaya bicara, berperilaku, sampai gaya makan. Susah memang. Tapi ini demi Vika. Cindy memilihkan tempat di Sky Dining di daerah Semanggi. Tempatnya romantis. Makan malam bersama orang yang kucinta dan menikmati suasa malam kota Jakarta.

Aku beralasan mengajak kami berempat untuk makan di sana. Berhubung rumah Vika tidak jauh dari sana, maka ia tiba lebih dulu.

Malam itu Vika menunggu cukup lama. Hingga aku keluar dengan setelan jas yang membuatku terlihat pria ideal. Cindy juga yang memilihkannya untukku. Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman. Ya.. demi Vika aku lakukan. Vika juga cantik malam itu. Dengan gaun merahnya yang merona. Rambut yang dibiarkan terurai. Lipstick yang tertoreh di bibirnya membuat Vika semakin seksi di malam itu. Membuatku ingin merasakan bibirmu.

Suasana di malam itu juga tidak terlalu ramai. Dengan musik klasik yang diputar membuat aku semakin gugup. Jika nanti aku nyatakan cintaku padanya, sudah pasti suaraku akan mudah terdengar. Aku saja malu mendengar suaraku nanti. Ditambah penampilan Vika yang sangat menggoda membuatku kehabisan kata – kata. Mendadak tenggorokkanku kering. Aku rasa aku tidak bisa melewati ini semua.

“Cindy sama Gerry mana Jo ?” Tanya Vika. Nampaknya ia mulai curiga. Aku bilang saja mereka masih di perjalanan. Rumah mereka berdua juga jauh.

Ok. Aku gak bisa lagi duduk di depan Vika. Apalagi suasana seperti ini. Malam itu aku pergi ke kamar kecil dan merenungi ini semua. Aku bimbang. Aku harus batalkan ini semua. Ya harus.Vika pasti menolakku mentah –mentah. Aku tidak mau malu di kemudian hari.

Cindy dan Gerry dengan sigap menghampiriku. Mereka meyakinkanku.

“Diterima atau ditolak urusan belakangan. Yang penting sudah berusaha. Vika juga pasti akan lihat betapa beraninya lo, Jo.” Cindy berusaha meyakinkanku.

“Menyatakan cinta dari mulut sendiri itu lebih baik. Percaya deh sama gue. Kalau lo gak bicara sekarang dan nanti Vika udah punya cowok, itu akan lebih sakit, Jo.” Gerry meyakinkanku pula  sambil menepuk pundakku. Benar juga kata mereka. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

Aku maju dan mengumpulan sekuat tenaga. Berharap pada Tuhan agar ini semua lancar. Berharap aku tidak terlihat memalukan di mata Vika. Berharap aku tidak terbata – bata saat menyatakan cintaku padanya nanti. Sedangkan Gerry dan Cindy memperhatikanku dari jauh.

Selesai makan aku katakan kata – kata itu. Keluar begitu saja. Aku juga tidak menyesal. “I love you, Vika.” Hanya beberapa kalimat. Beberapa detik. Aku juga kaget mampu mengucapkan kata – kata itu. Apalagi Vika. Di depanku dia hanya diam menatapku. Tanpa ekspresi.

 Aku merasa lega. Sudah tidak ada beban lagi. Menduga Vika pasti akan menolakku. Aku juga sudah siap. Selama beberapa detik hanya diam. Cuma terdengar alunan musik. Vika tidak bersuara apapun. Harapanku mulai runtuh. Aku pasti malu seumur hidup.

Tiba – tiba kedua bibirnya tersungging.  Mendatangkan harapan. I love you too, Jo.”

Vika menerimaku. Ia menerima cintaku. Tak kusangka. Mendadak pipiku memerah. Aku merasa ada yang mengetuk pintu hatiku dan berdiam di sana. Ini pasti cinta.

            Mimpi indahku jadi nyata. Aku tak pernah merasa lebih baik dari pada saat seperti itu. Vika datang membawakan cinta yang telah lama kunanti. Tawanya mampu membuatku tersenyum. Semuanya seperti mudah untuk dijalani.  Aku yakin Vika lah satu – satunya yang ada di hatiku. Tidak ada yang lain.


Cindy dan Gerry keluar dan memberi ucapan selamat padaku. Vika langsung tahu ini pasti ulah mereka juga. Ia tidak marah. Mengapa marah? Ia senang punya sahabat seperti kami. Aku juga senang saat itu. Jatuh cinta pertama kali. Terasa melayang di udara.

Inikah yang namanya cinta? Ya ini cinta. Ada sesuatu yang manis seperti gulali di awal hubungan ini. Tapi semua itu berubah. Seperti meminum racun, aku merasakan kepahitan. Melihat Vika dan Gerry berciuman di taman tengah – tengah kota London.

Hatiku remuk. Semakin mengingat itu, aku semakin membuka lebar – lebar lukaku itu. Ingin menangis saat itu. Tapi ku tahan. Tak ingin terlihat kalah di depan mereka berdua. Faktanya aku kalah total.

Harusnya aku dengar nasihat Cindy. Nasihat yang mengharuskan aku memutuskan Vika hari itu juga. Hari di mana Cindy mengetahui perselingkuhan ini.

Hari itu aku sedang tidak ada di Jakarta. Ibuku mendadak sakit di Yogyakarta. Mau tidak mau aku harus terbang ke sana dan melihat keadaan ibuku. Vika memiliki kesempatan lebih banyak bersama Gerry. Di depan mata Cindy mereka berdua berciuman. Sanking menikmatinya mereka tidak merasa kehadiran Cindy saat itu. Cindy hanya diam dan pergi. Ia memberitahuku itu semua. Aku percaya.

Awalnya sih tidak. Aku percaya mereka akan berubah. Nyatanya? Tidak. Mungkin tidak akan sadar.

Memenangkan kuis jalan – jalan ke London menyenangkan bukan? Apalagi aku yang memenangkannya. Berhadiah tiket empat orang lagi. Langsung saja aku mengajak mereka. Kerja kerasku dengan sukses memenangkan kompetisi itu.

Tadinya aku kira aku dapat merasakan moment- moment romantis di kota ini bersama Vika. Menikmati malam di London sembari mengatakan I love you pada Vika berlatar menara Big Bang. Sekaligus memaafkan dia atas perselingkuhan. Walau ku tahu, ia tidak pernah meminta maaf. Bahkan menyesalipun tidak.

Saat romantis bersama Vika yang aku tunggu ternyata tidak pernah datang. Gerry dan Vika pamit pergi keluar. Mereka bilang ingin mencari kudapan malam. Cindy curiga. Aku juga begitu. Setelah mereka pergi aku dan Cindy membuntuti mereka. Dan…..

Mereka tidak pergi ke toko. Mereka berdua berjalan ke arah taman di tengah kota London. Mereka duduk di salah satu bangku taman. Mereka mendekat.. dekat.. dan.. Mereka berciuman penuh hasrat di sana. Di tempat umum. Seolah dunia milik mereka berdua. Aku hanya diam bagai patung saat menyaksikan itu. Mereka berdua kaget. Sontak menjauhkan diri mereka masing – masing dan memegang bibir mereka dengan kedua tangan mereka. Seakan – akan saat itu mereka sadar itu adalah kesalahan. Dan baru sadar SEKARANG!

Cindy juga kaget. Seperti pertama kali melihat itu. Padahal ia sudah pernah. Cindy menepuk pundakku. Berusaha memberi kekuatan.

Tubuhku melemas. Dadaku sesak. Tidak tahu harus bebricara apa. Semua yang dikatakan Cindy benar. Hanya saja baru kali ini aku melihatnya langsung. Rasanya aku ingin menangis. Melihat sahabatku seperti itu. Emosi memuncak. Kesedihanku tidak dapat terbendung lagi. Aku berusaha tegar. Tidak ingin meneteskan air mata. Aku ini pria….

“Aku bisa jelasin ini semua Jo, maafin aku. Aku hanya….” Ucapan Vika terpotong dengan ucapanku.

“Cukup Vik. Cukup.” Berusaha agar suaraku terdengar setenang mungkin.

“Sori Jo, gue tahu gue salah.Gue nusuk lo dari belakang. Please, denger gue dulu..” Gerry juga berusaha membantu Vika untuk menjelaskan ini semua. Tapi bagiku ini udah jelas.

“Udah, Ger. Udah. Cindy udah cerita selama ini tentang kelakuan kalian berdua. Gue udah tahu semua.” Kataku berusaha menahan kesedihan yang memuncak.

“Kenapa kamu nggak cegah aku ? Kenapa kamu gak bilang dari dulu ? Kalau kamu bilang pasti aku bisa sadar. Ini semua salah kamu! “

“Jangan memutar balikkan fakta Vik ! Aku udah curiga dari dulu. Kamu yang suka ngilang tanpa kabar. BB kamu yang nggak pernah aktif. Sikap kamu yang mendadak aneh. Hobi kamu yang berubah. Dari suka ke salon mendadak berubah menjadi suka main futsal. Aku tahu kamu gak pernah bisa main futsal. Aku tahu kamu bohong!”. Dadaku terasa sesak. Sakit rasanya membentak orang yang kucintai dengan kata – kata menyakitkan seperti itu. Emosiku mulai memuncak.

Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Lagi – lagi aku menyesalinya. Harusnya aku tahu. Vika yang enggak pernah menyukai sepak bola, mendadak akhir – akhir ini sering sekali berlasan bermain futsal. Yang ternyata adalah alasannya untuk bertemu Gerry karena Gerry penggemar berat bola.

“Aku udah nggak cinta sama kamu. Maaf ! Aku udah mengandung anak Gerry!”

Aku dan Cindy kaget mendengar itu. Jantungku terasa mau copot. Serangan bertubi – tubi menyerang hatiku. Seolah Bumi berhenti berputar. Waktu juga berhenti, membiarkanku menyimak apa yang barusan kudengar.

Aku berbalik. Diam beberapa detik. Berusaha sekuat – kuatnya menahan emosiku. Jika aku marah juga percuma. Tidak ada gunanya. Yang lebih parah lagi, Vika hamil. Gerry menghamilinya. HAMIL!

Aku berjalan lurus kedepan. Berusaha untuk tidak menghajar sahabatku itu. Meninggalkan Cindy, Vika, dan Gerry di belakang sana.

Aku butuh waktu sendiri. Butuh waktu untuk kembali waras setelah kejadian ini. Cinta hampir membuatku gila.

Beberapa waktu lalu aku merasa jatuh cinta. Cinta itu menyenangkan. Tapi sekarang aku merasa patah hati. Merasa ada sesuatu yang keluar dari pintu hatiku. Cintaku kini telah pergi. Dimenangkan oleh orang lain yang adalah sahabatku sendiri.

Aku terus berjalan. Tak hiarukan Cindy yang terus memanggilku. Rasanya aku akan mati karena cinta. Sakit yang begitu mendalam. Luka yang begitu perih. Hatiku terasa tersayat – sayat pisau. Memilukan.

Kalau dapat kubilang, aku juga bersalah dalam hal ini. Aku seharusnya tahu dari dulu. Jauh sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan Vika. Seorang putri keluarga Bramowijaya, mana mungkin memilihku yang berpenghasilan sebagai seorang penulis. Jelas ia akan memilih yang lebih mapan dariku. Bodohnya, aku tak menyadari orang yang ia pilih adalah Gerry.

Aku cuma bisa menghelas napas panjang. Gerry dan Vika. Kalau aku perhatikan, mereka amat cocok. Yang satu seorang putri, yang satu lagi pewaris tunggal harta gono gini keluarga Paradoks. Ya, aku sadar itu. Dibandingkan dengan aku yang hanya seorang penulis, tentu Vika akan lebih bahagia dengan Gerry.

Terserah mereka. Bagiku, menulis adalah hidupku. Tak dapat terpisahkan. Meskipun risikonya mesti kehilangan orang yang paling kucintai. Bermalam – malam aku menyelesaikan novelku yang satu itu untuk memenangkan hadiah liburan seperti ini. Demi Vika.

Semua sia – sia. Pil pahit harus kutelan. Sesak rasanya dada ini. Ingin kuakhiri semuanya.

Cinta datang membawa kebahagiaan. Terkadang datang membawa kepahitan. Terus berputar.

Tiba – tiba terlintas dalam benakku sebuah kutipan yang aku buat dalam novelku.

Aku merindukanmu, Vika. Aku masih mencintaimu sampai saat ini. Aku berharap aku mau meninggalkanku demi Gerry. Mustahil memang. Asal kau tahu, hatiku terluka. Kecewa padamu. Maafkan aku jika selama ini kau tak nyaman dalam dekapanku.

Aku punya dua pilihan. Memendam rasa cinta yang masih ada atau meneruskannya ?

Aku memilih....

Pendam. Tidak mungkin ada kesempatan untukku. Tak bisa lagi aku memenangkan cinta Vika. Ia sudah mengandung anak Gerry. Ya, aku harus memendam perasaanku yang tersisa. Menguburnya di dasar hatiku paling terdelam. Berjanji untuk tidak mengambilnya lagi. Sukar memang, tapi aku harus melakukannya.

Aku terlalu takut untuk memulai lagi. Takut untuk mencinta lagi. Ini semua membuat aku trauma. Aku takut apa yang mereka bilang jatuh cinta. Luka yang lama belum dapat kuobati. Aku tidak mau membuat luka yang baru.

Mungkin ini saatnya untuk memulai sesuatu yang baru.