Cinta. Satu kata
sederhana. Tapi tidak sesederhana itu isinya. Mampu menghancurkan hubungan
sepasang sahabat. Mampu membuat hati remuk. Mampu merubah tabiat seseorang.
Bahkan
mampu membuat takut untuk mencinta lagi.
***
Cuaca
hari ini cukup bersahabat. Setelah beberapa hari lalu hujan mengguyur Jakarta,
kini setidaknya ada istirahat sejenak. Ada waktu yang dapat kugunakan untuk
menikmati semburat cahaya matahari. Aku bersyukur adanya hari secerah ini. Hari
di mana tidak ada lagi hujan. Kalau boleh jujur, aku benci hujan.
Hujan
mengingatkanku akan peristiwa itu. Peristiwa yang mampu memporak – porandakan
hidupku. 17 September 2011. Sebisa mungkin aku menghindari hujan. Itu berarti
aku hanya memiliki matahari. Cuma ada dua pilihan.
Sama seperti . . . take it or
leave it.
Tidak ada pilihan lain.
Bagiku matahari itu adalah sumber
kehidupan. Salah satu Mahakarya dari sang Pencipta. Matahari juga memancarkan
kekuatan bagiku. Kekuatan untuk menghadapi perkara memilukan ini. Melawan
konsekuensi atas pilihan yang terpaksa aku ambil.
Aku tidak pernah
menginginkan pilihan tersebut. Tapi, aku
ditakdirkan untuk memilih.
“Siska!” Terdengar suara
memanggil namaku. Kubuka pintu. Mendapati Nina
di baliknya.
“Hei! Ayo masuk.” Senang rasanya melihat dia.
Nina.
Sahabatku dari kecil. Awalnya sebelum menjalin hubungan sebagai sepasang
sahabat dengannya aku juga memiliki banyak teman baik. Namun, cuma ada satu
sebagai yang terbaik. Aku tidak akan
menceritakan kepada kalian mengapa akhirnya Nina yang menjadi sahabat
baikku, karena bukan itulah intinya.
Yang jelas ia ada di saat dukaku. Seperti berakhirnya hubunganku dengan Mario. Nina ada di sampingku untuk
membuatku tetap tegar. Meski kepedihan yang kurasakan tidak berkurang sedikit
pun.
“Ka, gue dapet banyak info
baru!” Seru Nina. Langsung aku sambut
baik. Di otakku mulai menerka – nerka info seperti apa yang ia dapat.
Ketika berakhirnya
masa SMP, aku dan Nina
memilih sekolah yang berbeda. Nina mendapatkan sekolah negeri. Sedangkan aku swasta. Itu juga berarti
aku berpisah sekolah
dengan Mario. Walau kami sudah putus
hubungan, tetapi aku masih sering mengamatinya dari jarak jauh. Masih ada rindu
yang tersisa. Tidak mungkin aku melupakannya begitu saja. Terlalu banyak kenangan
manis antara aku dan Mario.
Tak tega aku membuangnya.
Beruntung bagiku. Nina mendapatkan sekolah yang sama dengan Mario. Apalagi Mario satu ektrakurikuler
dengan Nina. Karate. Secara tidak langsung
aku dapat mengetahui segala sesuatu yang terjadi dengan Mario. Dan juga menjadikan Nina sebagai mata – mataku.
Terdengar jahat memang, tetapi seperti yang sebelumnya kuceritakan. Aku tidak
memiliki pilihan lain. Aku teramat merindukannya.
“Info apa, Na?” Tanyaku. Senyum
mengembang di wajahku.
Aku menangkap
kegetiran di kedua mata Nina.
Kedua sudut bibirnya yang tadi
terangkat, kini menghilang. Tatapan matanya juga berubah. Aku kenal ini.
Pandangan yang mengasihaniku. Memprihatinkan.
Akan ada berita
buruk yang kuterima.
“Lo yakin mau
denger?” Nina
memastikan. Aku semakin yakin. Apapun yang terjadi aku harus siap. Aku mengangguk
mantap. Bersiap akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ok. Ada dua
berita yang gue bawa. Pertama, Mario
udah punya cewek baru.” Sesuatu menghantam kepalaku. Terasa pening. Seolah ada yang
menyerap kehidupanku. Tidak menyisakan apa – apa lagi. Kedua mataku perih. Siap
untuk tumpah ruah.
“Lo udah siap buat
denger yang kedua, Ka?”
Sepertinya berita kedua lebih menyakitkan. Yang pertama saja sudah hampir
membuatku mati. “Gue siap.” Kataku berusaha tegar dan menutupi kegetiran di
suaraku.
“Mario ternyata punya penyakit
di saluran pernapasannya. Umur dia udah nggak lama lagi.”
***
Semuanya
berhenti. Dunia berhenti berputar. Jam berhenti berdetak. Benar – benar sunyi.
Sampai – sampai aku mampu mendengar suara tarikan napas kusendiri.
Kalimat
terakhir yang kudengar dari mulutnya masih berusaha kucerna. Perlahan, aku
mulai paham. Sangat pahan. Terpancar jelas maksudnya dari ucapannya.
Gue mau kita putus.
Kalimat yang sederhana. Tapi sanggup menusuk jantungku.
Kutatap
dia. Kuamati baik – baik setiap lekukan wajahnya. Belum pernah aku melihatnya
dari jarak sedekat ini. Sejak kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih
sampai sekarang. Karena inilah kesempatan terakhirku untuk melihatnya. Melihat
tatapan matanya yang menenangkan. Mendengar suaranya yang melegakan. Setelah
waktu ini, tak ada lagi yang tersisa untukku.
Pada
awalnya aku sudah menduga ada yang tidak beres. Gelagatnya yang mencurigakan.
Ia yang mengajakku untuk bertemu tanpa alasan yang jelas. Namun, aku mengikuti
kemauannya. Mungkin jika aku tidak datang malam ini, hubungan kami tidak akan
berakhir. Atau mungkin akan tetap berakhir tetapi dengan cara yang berbeda?
“Maafin
gue, Sis.” Ekspresinya wajahnya
benar – benar berbeda dari biasa. Baru sekali ini aku mendapati raut wajahnya
seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Tapi
kenapa?” Tanyaku. Berusaha menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah ruah.
Kedua mataku terasa perih. Ya Tuhan! Jeritku dalam hati. Aku
teramat mencintainya.
Mario cuma diam. Tidak tahu
apa yang harus ia katakan. Ia tidak berani menatapku. Seperti ada yang ia
sembunyikan. Kemudian ia berlalu pergi. Aku memandangi punggunggnya yang
menjauh. Sampai siluet tubuhnya hilang di keramaian. Meninggalkanku sendiri di kafe ini.
Aku
ingat tempat ini. Tempat inilah di mana kami berdua mengikatkan diri dengan
sebutan “kekasih”. Di tempat ini pula
hubungan kami berakhir. Berawal dan berakhir di tempat yang sama. Tetapi lebih
menyakitkan ketika ini semua berakhir.
Entah
mengapa setelah mendengar pernyataan Nina,
sulit bagiku untuk meneteskan air mata. Padahal aku sangat terpukul. Mengetahui
dengan mudahnya Mario melupakanku.
Mencari penggantiku di hatinya. Dan yang terakhir. Penyakit yang selama ini di
deritanya. Tanpa kuketahui.
Jika
nanti Mario benar – benar pergi, aku
tidak ada di sampingnya. Yang ada malahan... “Siapa namanya?”
“Anisza.”
Jawab Nina. “Dia juga ikut ekskul Karate.” Tambahnya.
Ya.
Anisza mungkin yang akan berada di samping Mario
nanti. Aku cemburu. Tak bisa kugapai dia. Aku masih mencintainya.
Akan
tetapi aku harus tetap berada di dekatnya. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak
ingin menyesalinya.
Aku
akan pindah sekolah.
***
“Tapi kenapa, De? Dulu bukannya kamu ngotot
mau sekolah di Al – Huda?” Tanya Mamaku
begitu mengetahui niatku untuk pindah.
“Kalau di negeri gampang masuk PTN,
Ma. Lagian kan sekarang sekolah
negeri udah gratis.”
“Heran. Kok tumben
– tumbennya kamu mikirin kuliah.”
Jawab Mamaku. Rupanya Mama mencium bau yang
ditutupi. Semoga saja berhasil.
“Al – Huda juga
udah nggak bagus kok, Ma. Beda sama zamannya Kak Vivi dulu.” Kalau yang ini
benar. Kak Vivi, kakak perempuanku yang dulu sekolah di Al – Huda. Kualitasnya
memang menurun. Jadi setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong.
“Nanti Mama ngomongin sama Papa ya, De.” Syukurlah.
Meskipun belum pasti, ini adalah berita bagus.
Ternyata Tuhan
mendengar doaku. Papa mengizinkanku untuk pindah sekolah. Alasanku yang kuat membuat
orangtuaku menyetujuinya.
Pada tahun 2012,
semester dua,
aku pindah sekolah. Kini, aku satu sekolah
dengan Nina dan Mario. Juga Anisza. Aku benci mengakuinya.
Aku
berharap dengan kepindahanku ke sini dapat memperbaiki hubunganku dengan Mario. Bukannya aku mau
merebut Mario kembali, hanya saja aku
dan Mario dapat menjadi sepasang sahabat. Walau aku ingin meminta lebih.
Sayangnya,
semua itu tidak seperti yang aku harapkan.
***
Tiga bulan kemudian....
Banyak
yang mengatakan padaku usaiku terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan.
Tugasku sekarang adalah belajar. Belum saatnya untuk mencinta. Cinta yang aku
rasa cuma cinta monyet. Terserah orang mau bilang apa. Yang jelas, aku dapat
membedakan antara suka dan cinta.
Seperti
yang aku alami dengan Mario.
Aku kenal diriku. Benar mengetahui apa yang kuketahui. Terlebih apa yang
kurasakan. Aku mencintainya.
Bukan menyukainya. Terserah mereka jika mereka mengatakan aku masih kecil. Atau
mengatakan aku tidak tahu apa itu cinta.
Aku
yakin. Aku mencintai Mario.
Bukan menyukainya.
Cinta
juga membutuhkan perjuangan. Bukan hanya pernyataan. Pernyataan bisa saja
berbohong, tetapi perjuangan tidak pernah berbohong.
Aku
rela pindah sekolah.
Hal yang paling aku tidak suka, karena itu berarti aku harus beradaptasi lagi.
Tetapi aku melakukannya demi Mario.
Demi menyelamatkan hubungan kami. Membuat sebuah ikatan dengan sebutan sahabat.
Mungkin
sekarang aku merutuki keputusanku beberapa bulan lalu. Menyesali apa yang sudah
kuminta pada orangtuaku. Kalau bisa, aku ingin kembali ke sekolah lamaku. Aku tahu,
hal tersebut tidak akan pernah bisa terjadi lagi. Sekarang aku harus menerima
konsekuensinya.
Ini
lebih buruk dari masa setelah hubungan kami berdua berakhir. Kalau dulu Mario masih suka menyapaku,
sekarang menatap saja tidak sudi. Seolah ia jijik denganku. Ia seperti menghindar
dariku.
Aku
belajar di kelas X – 6. Anisza berada di kelas X – 7. Mario berada di kelas X – 2.
Itu berarti jika Mario
ingin menemui Anisza, ia akan melewati kelasku dulu. Dan hal itu selalu terjadi
setiap hari. Aku hanya bisa menahan air mata setiap kali melihat mereka berdua
bercengkrama.
Tidak ada yang
dapat aku lakukan. Sia – sia kepindahanku ke sini.
Bahkan, aku cuma
membuatnya tambah berantakan.
Nina
pernah memberi tahuku. Ia mendapat berita tersebut dari beberapa sumber kalau
Anisza membenciku. Semenjak kepindahanku kemari, Anisza telah membenciku.
Seakan tidak mau melihat keberadaanku di sekolah
ini.
Entahlah. Aku
sendiri juga bingung. Aku tidak pernah berbicara sepatah kata dengannya. Kalau
berpapasan di jalan, ia selalu membuang muka. Nina juga pernah bilang, kalau mulut Anisza
memang jahat. Di klub
saja ia dibenci. Aku sempat berspekulasi, apa iya Mario menjadi sedingin ini
padaku gara – gara Anisza menghasutnya?
Aku terlalu takut
untuk mengira – ngira. Juga tidak berani asal tuduh. Selama ini, aku selalu
bertanya – tanya. Mengapa Anisza membenciku keberadaanku di samping kelasnya?
Apa karena ia takut akan merebut Mario
kembali?
Aku memang masih mencintai Mario,
tetapi aku bukan perempuan perebut. Aku juga memikirkan perasaan Anisza jika
aku melakukan hal tersebut.
Kebalikannya,
Anisza tidak pernah memikirkan perasaanku. Dengan gamblangnya ia tertawa dengan
Mario di depan mataku. Menggenggam tangannya. Melakukan hal semacam
itu di hadapanku. Seolah ingin membuatku cemburu. Anisza juga membicarakanku di
X – 7 bersama kawan – kawannya. Menjadikanku sebagai bahan gosip. Aku tidak
tahu apa yang Anisza bicarakan tentangku, yang jelas sebagian besar para
penghuni X – 7 seperti memandangku dengan tatapan merendah. Tatapan menghakimi
seolah – olah aku adalah manusia yang paling bersalah. Mungkin saja Anisza
mengatakan kalau aku ini perempuan penggoda? Suka – suka dia ingin berbicara
apa. Aku tidak perduli.
Sampai
detik ini, aku masih mencintai Mario.
Selalu menyebut namanya di setiap doaku. Selalu berharap yang terbaik untuknya.
Aku
ingin sekali move on. Melanjutkan hidupku yang masih
panjang. Melupakan kenangan – kenangan pahit yang pernah menimpaku. Tak tahu
mengapa, aku tidak mampu mengusir Mario
dari lubuk hatiku yang terdalam. Padahal, ia sudah melakukannya terlebih
dahulu.
Hari
– hari berikutnya terasa lebih berat. Air mata yang aku tahan setiap kali
melihat mereka berdua. Seolah – olah dunia ini milik mereka. Aku berdoa pada
Tuhan semoga di saat terakhir Mario tutup
mata, ada Anisza yang menemani. Bukan aku.
Yang
terakhir ada sebuah pertanyaan yang selalu terngiang – ngiang di kepalaku.
Belakangan aku tahu. Ini bukan pertanyaan. Melainkan sebuah pernyataan yang
menari – nari di kepalaku. Mengingatkanku selalu.
Mengapa aku tidak bisa
melupakanmu,
jika kau tidak pernah melirikku sedikitpun?
Satu
jawabannya.
Karena cinta.
Aku
memang tidak bisa menggapai Mario.
Mengharapkannya “pulang” juga tidak mungkin.
Walau begitu aku terus berharap. Harapan yang ada memang tipis. Namun, tidak
ada salahnya berharap.
Cintaku
yang teramat besar tidak dapat kau balas. Tak mengapa. Aku melakukan semua itu,
karena cinta.
Cinta
yang tulus tanpa pamrih.
Cinta tanpa syarat.