Jumat, 23 Januari 2015

Cinta Tanpa Syarat

Cinta. Satu kata sederhana. Tapi tidak sesederhana itu isinya. Mampu menghancurkan hubungan sepasang sahabat. Mampu membuat hati remuk. Mampu merubah tabiat seseorang.
           
Bahkan mampu membuat takut untuk mencinta lagi.
***
            Cuaca hari ini cukup bersahabat. Setelah beberapa hari lalu hujan mengguyur Jakarta, kini setidaknya ada istirahat sejenak. Ada waktu yang dapat kugunakan untuk menikmati semburat cahaya matahari. Aku bersyukur adanya hari secerah ini. Hari di mana tidak ada lagi hujan. Kalau boleh jujur, aku benci hujan.

            Hujan mengingatkanku akan peristiwa itu. Peristiwa yang mampu memporak – porandakan hidupku. 17 September 2011. Sebisa mungkin aku menghindari hujan. Itu berarti aku hanya memiliki matahari. Cuma ada dua pilihan.

            Sama seperti . . . take it or leave it. Tidak ada pilihan lain.

            Bagiku matahari itu adalah sumber kehidupan. Salah satu Mahakarya dari sang Pencipta. Matahari juga memancarkan kekuatan bagiku. Kekuatan untuk menghadapi perkara memilukan ini. Melawan konsekuensi atas pilihan yang terpaksa aku ambil.

Aku tidak pernah menginginkan pilihan tersebut. Tapi, aku ditakdirkan untuk memilih.

Siska!” Terdengar suara memanggil namaku. Kubuka pintu. Mendapati Nina di baliknya. 

“Hei! Ayo masuk.” Senang rasanya melihat dia.

Nina. Sahabatku dari kecil. Awalnya sebelum menjalin hubungan sebagai sepasang sahabat dengannya aku juga memiliki banyak teman baik. Namun, cuma ada satu sebagai yang terbaik. Aku tidak akan menceritakan kepada kalian mengapa akhirnya Nina yang menjadi sahabat baikku, karena bukan itulah intinya. Yang jelas ia ada di saat dukaku. Seperti berakhirnya hubunganku dengan Mario. Nina ada di sampingku untuk membuatku tetap tegar. Meski kepedihan yang kurasakan tidak berkurang sedikit pun.

Ka, gue dapet banyak info baru!” Seru Nina. Langsung aku sambut baik. Di otakku mulai menerka – nerka info seperti apa yang ia dapat.

Ketika berakhirnya masa SMP, aku dan Nina memilih sekolah yang berbeda. Nina mendapatkan sekolah negeri. Sedangkan aku swasta. Itu juga berarti aku berpisah sekolah dengan Mario. Walau kami sudah putus hubungan, tetapi aku masih sering mengamatinya dari jarak jauh. Masih ada rindu yang tersisa. Tidak mungkin aku melupakannya begitu saja. Terlalu banyak kenangan manis antara aku dan Mario. Tak tega aku membuangnya.

Beruntung bagiku. Nina mendapatkan sekolah yang sama dengan Mario. Apalagi Mario satu ektrakurikuler dengan Nina. Karate. Secara tidak langsung aku dapat mengetahui segala sesuatu yang terjadi dengan Mario. Dan juga menjadikan Nina sebagai mata – mataku. Terdengar jahat memang, tetapi seperti yang sebelumnya kuceritakan. Aku tidak memiliki pilihan lain. Aku teramat merindukannya.

“Info apa, Na?” Tanyaku. Senyum mengembang di wajahku.

Aku menangkap kegetiran di kedua mata Nina. Kedua sudut bibirnya yang  tadi terangkat, kini menghilang. Tatapan matanya juga berubah. Aku kenal ini. Pandangan yang mengasihaniku. Memprihatinkan.

Akan ada berita buruk yang kuterima.

“Lo yakin mau denger?” Nina memastikan. Aku semakin yakin. Apapun yang terjadi aku harus siap. Aku mengangguk mantap. Bersiap akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ok. Ada dua berita yang gue bawa. Pertama, Mario udah punya cewek baru.” Sesuatu menghantam kepalaku. Terasa pening. Seolah ada yang menyerap kehidupanku. Tidak menyisakan apa – apa lagi. Kedua mataku perih. Siap untuk tumpah ruah.

“Lo udah siap buat denger yang kedua, Ka?” Sepertinya berita kedua lebih menyakitkan. Yang pertama saja sudah hampir membuatku mati. “Gue siap.” Kataku berusaha tegar dan menutupi kegetiran di suaraku.

Mario ternyata punya penyakit di saluran pernapasannya. Umur dia udah nggak lama lagi.”

***
            Semuanya berhenti. Dunia berhenti berputar. Jam berhenti berdetak. Benar – benar sunyi. Sampai – sampai aku mampu mendengar suara tarikan napas kusendiri.

            Kalimat terakhir yang kudengar dari mulutnya masih berusaha kucerna. Perlahan, aku mulai paham. Sangat pahan. Terpancar jelas maksudnya dari ucapannya.

            Gue mau kita putus. Kalimat yang sederhana. Tapi sanggup menusuk jantungku.

            Kutatap dia. Kuamati baik – baik setiap lekukan wajahnya. Belum pernah aku melihatnya dari jarak sedekat ini. Sejak kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih sampai sekarang. Karena inilah kesempatan terakhirku untuk melihatnya. Melihat tatapan matanya yang menenangkan. Mendengar suaranya yang melegakan. Setelah waktu ini, tak ada lagi yang tersisa untukku.

            Pada awalnya aku sudah menduga ada yang tidak beres. Gelagatnya yang mencurigakan. Ia yang mengajakku untuk bertemu tanpa alasan yang jelas. Namun, aku mengikuti kemauannya. Mungkin jika aku tidak datang malam ini, hubungan kami tidak akan berakhir. Atau mungkin akan tetap berakhir tetapi dengan cara yang berbeda?

            “Maafin gue, Sis.” Ekspresinya wajahnya benar – benar berbeda dari biasa. Baru sekali ini aku mendapati raut wajahnya seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

            “Tapi kenapa?” Tanyaku. Berusaha menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Kedua mataku terasa perih. Ya Tuhan! Jeritku dalam hati. Aku teramat mencintainya.

            Mario cuma diam. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak berani menatapku. Seperti ada yang ia sembunyikan. Kemudian ia berlalu pergi. Aku memandangi punggunggnya yang menjauh. Sampai siluet tubuhnya hilang di keramaian. Meninggalkanku sendiri di kafe ini.

            Aku ingat tempat ini. Tempat inilah di mana kami berdua mengikatkan diri dengan sebutan kekasih. Di tempat ini pula hubungan kami berakhir. Berawal dan berakhir di tempat yang sama. Tetapi lebih menyakitkan ketika ini semua berakhir.

            Entah mengapa setelah mendengar pernyataan Nina, sulit bagiku untuk meneteskan air mata. Padahal aku sangat terpukul. Mengetahui dengan mudahnya Mario melupakanku. Mencari penggantiku di hatinya. Dan yang terakhir. Penyakit yang selama ini di deritanya. Tanpa kuketahui.
            Jika nanti Mario benar – benar pergi, aku tidak ada di sampingnya. Yang ada malahan... “Siapa namanya?”

            “Anisza.” Jawab Nina. “Dia juga ikut ekskul Karate.” Tambahnya.

            Ya. Anisza mungkin yang akan berada di samping Mario nanti. Aku cemburu. Tak bisa kugapai dia. Aku masih mencintainya.

            Akan tetapi aku harus tetap berada di dekatnya. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak ingin menyesalinya.

            Aku akan pindah sekolah.
***

“Tapi kenapa, De? Dulu bukannya kamu ngotot mau sekolah di Al – Huda?” Tanya Mamaku begitu mengetahui niatku untuk pindah.

“Kalau di negeri gampang masuk PTN, Ma. Lagian kan sekarang sekolah negeri udah gratis.”

“Heran. Kok tumben – tumbennya kamu mikirin kuliah.” Jawab Mamaku. Rupanya Mama mencium bau yang ditutupi. Semoga saja berhasil.

“Al – Huda juga udah nggak bagus kok, Ma. Beda sama zamannya Kak Vivi dulu.” Kalau yang ini benar. Kak Vivi, kakak perempuanku yang dulu sekolah di Al – Huda. Kualitasnya memang menurun. Jadi setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong.

“Nanti Mama ngomongin sama Papa ya, De.” Syukurlah. Meskipun belum pasti, ini adalah berita bagus.

Ternyata Tuhan mendengar doaku. Papa mengizinkanku untuk pindah sekolah. Alasanku yang kuat membuat orangtuaku menyetujuinya.

Pada tahun 2012, semester dua, aku pindah sekolah. Kini, aku satu sekolah dengan Nina dan Mario. Juga Anisza. Aku benci mengakuinya.

            Aku berharap dengan kepindahanku ke sini dapat memperbaiki hubunganku dengan Mario. Bukannya aku mau merebut Mario kembali, hanya saja aku dan Mario dapat menjadi sepasang sahabat. Walau aku ingin meminta lebih.

            Sayangnya, semua itu tidak seperti yang aku harapkan.
***
Tiga bulan kemudian....                        

            Banyak yang mengatakan padaku usaiku terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan. Tugasku sekarang adalah belajar. Belum saatnya untuk mencinta. Cinta yang aku rasa cuma cinta monyet. Terserah orang mau bilang apa. Yang jelas, aku dapat membedakan antara suka dan cinta.

            Seperti yang aku alami dengan Mario. Aku kenal diriku. Benar mengetahui apa yang kuketahui. Terlebih apa yang kurasakan. Aku mencintainya. Bukan menyukainya. Terserah mereka jika mereka mengatakan aku masih kecil. Atau mengatakan aku tidak tahu apa itu cinta.

            Aku yakin. Aku mencintai Mario. Bukan menyukainya.

            Cinta juga membutuhkan perjuangan. Bukan hanya pernyataan. Pernyataan bisa saja berbohong, tetapi perjuangan tidak pernah berbohong.

            Aku rela pindah sekolah. Hal yang paling aku tidak suka, karena itu berarti aku harus beradaptasi lagi. Tetapi aku melakukannya demi Mario. Demi menyelamatkan hubungan kami. Membuat sebuah ikatan dengan sebutan sahabat.

            Mungkin sekarang aku merutuki keputusanku beberapa bulan lalu. Menyesali apa yang sudah kuminta pada orangtuaku. Kalau bisa, aku ingin kembali ke sekolah lamaku. Aku tahu, hal tersebut tidak akan pernah bisa terjadi lagi. Sekarang aku harus menerima konsekuensinya.

            Ini lebih buruk dari masa setelah hubungan kami berdua berakhir. Kalau dulu Mario masih suka menyapaku, sekarang menatap saja tidak sudi. Seolah ia jijik denganku. Ia seperti menghindar dariku.

            Aku belajar di kelas X – 6. Anisza berada di kelas X – 7. Mario berada di kelas X – 2. Itu berarti jika Mario ingin menemui Anisza, ia akan melewati kelasku dulu. Dan hal itu selalu terjadi setiap hari. Aku hanya bisa menahan air mata setiap kali melihat mereka berdua bercengkrama.

Tidak ada yang dapat aku lakukan. Sia – sia kepindahanku ke sini.

Bahkan, aku cuma membuatnya tambah berantakan.

Nina pernah memberi tahuku. Ia mendapat berita tersebut dari beberapa sumber kalau Anisza membenciku. Semenjak kepindahanku kemari, Anisza telah membenciku. Seakan tidak mau melihat keberadaanku di sekolah ini.

Entahlah. Aku sendiri juga bingung. Aku tidak pernah berbicara sepatah kata dengannya. Kalau berpapasan di jalan, ia selalu membuang muka. Nina juga pernah bilang, kalau mulut Anisza memang jahat. Di klub saja ia dibenci. Aku sempat berspekulasi, apa iya Mario menjadi sedingin ini padaku gara – gara Anisza menghasutnya?

Aku terlalu takut untuk mengira – ngira. Juga tidak berani asal tuduh. Selama ini, aku selalu bertanya – tanya. Mengapa Anisza membenciku keberadaanku di samping kelasnya? Apa karena ia takut akan merebut Mario kembali? Aku memang masih mencintai Mario, tetapi aku bukan perempuan perebut. Aku juga memikirkan perasaan Anisza jika aku melakukan hal tersebut.

Kebalikannya, Anisza tidak pernah memikirkan perasaanku. Dengan gamblangnya ia tertawa dengan Mario di depan mataku. Menggenggam tangannya. Melakukan hal semacam itu di hadapanku. Seolah ingin membuatku cemburu. Anisza juga membicarakanku di X – 7 bersama kawan – kawannya. Menjadikanku sebagai bahan gosip. Aku tidak tahu apa yang Anisza bicarakan tentangku, yang jelas sebagian besar para penghuni X – 7 seperti memandangku dengan tatapan merendah. Tatapan menghakimi seolah – olah aku adalah manusia yang paling bersalah. Mungkin saja Anisza mengatakan kalau aku ini perempuan penggoda? Suka – suka dia ingin berbicara apa. Aku tidak perduli.

Sampai detik ini, aku masih mencintai Mario. Selalu menyebut namanya di setiap doaku. Selalu berharap yang terbaik untuknya.

Aku ingin sekali move on. Melanjutkan hidupku yang masih panjang. Melupakan kenangan – kenangan pahit yang pernah menimpaku. Tak tahu mengapa, aku tidak mampu mengusir Mario dari lubuk hatiku yang terdalam. Padahal, ia sudah melakukannya terlebih dahulu.

Hari – hari berikutnya terasa lebih berat. Air mata yang aku tahan setiap kali melihat mereka berdua. Seolah – olah dunia ini milik mereka. Aku berdoa pada Tuhan semoga di saat terakhir Mario tutup mata, ada Anisza yang menemani. Bukan aku.

Yang terakhir ada sebuah pertanyaan yang selalu terngiang – ngiang di kepalaku. Belakangan aku tahu. Ini bukan pertanyaan. Melainkan sebuah pernyataan yang menari – nari di kepalaku. Mengingatkanku selalu.

Mengapa aku tidak bisa melupakanmu, jika kau tidak pernah melirikku sedikitpun?

Satu jawabannya.

Karena cinta.

Aku memang tidak bisa menggapai Mario. Mengharapkannya pulang juga tidak mungkin. Walau begitu aku terus berharap. Harapan yang ada memang tipis. Namun, tidak ada salahnya berharap.

Cintaku yang teramat besar tidak dapat kau balas. Tak mengapa. Aku melakukan semua itu, karena cinta.

Cinta yang tulus tanpa pamrih.

Cinta tanpa syarat.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar