Jumat, 03 April 2015

Selamat Datang Cinta


Sudah hampir tiga tahun aku mengenalnya. Sejak mengenakan seragam putih abu – abu. Aku ingat betul. Pagi itu, di depan gerbang sekolah kami berdua sama – sama terlambat di hari pertama kali MOS. Hukuman berupa push – up dari senior sok berkuasa itu kami terima. Melakukan dalam diam. Namun, dalam hati aku mengumpat.

            Setelah itu, kami tidak pernah lagi berbicara. Kalau berpapasan pun, biasa saja. Di kelas X kami berbeda kelas. Aku kelas X – 6 dan dia kelas X – 2. Membuat jarak di antara kami semakin terbentang luas. Lalu, ketika mulai penjurusan aku dan Elika mendapat jurusan yang sama. Jurusan yang kami mau. Tadinya aku pikir kami akan berbeda kelas lagi, nyatanya kelas yang sama. XI IPA 3.
Di situlah semuanya dimulai.

            Aku tidak tahu dari mana semua ini bermula. Apakah sejak awal menginjakkan kaki di SMA Minerva kah? Atau, semenjak kami satu kelas? Perutku terasa mual tiap kali melihatnya. Seperti ada jutaan kupu – kupu bertebangan di dalam sana. Detak jantungku juga tidak karuan tiap kali melihatnya. Tubuhku menghangat. Kenapa ya? Akhirnya, aku menyimpulkan aku telah jatuh cinta pada Elika.

            Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat atau tidak. Apakah ini cinta sungguhan apa cinta monyet pun aku tidak mengerti. Yang aku tahu, ini adalah sesuatu yang berbeda. Tidak sama dengan apa yang aku dan Citra lalui.

            Kau ingin bilang aku laki – laki berengsek? Silahkan. Itu kenyataan. Jatuh cinta kepada perempuan lain di saat aku telah memiliki kekasih. Bukannya aku ingin mengkhianati Citra, hanya saja aku tidak bisa berbohong. Tidak dapat berpura – pura. Aku pernah mencintai Citra. Menyayanginya sebagaimana layaknya sepasang kekasih.

Seiring berjalannya waktu, perasaanku padanya mulai berubah. Semenjak aku memergokinya selingkuh bersama Adit. Sahabatku sendiri. Ya, semenjak itu perasaanku mulai berubah. Aku memang sudah memaafkan Citra. Sudah berjanji pada Citra untuk memulai semua ini dari awal lagi. Tetap saja aku merasa ada yang janggal.

Semuanya tidak pernah akan menjadi sama lagi seperti dulu. Ada yang berbeda, mengganjal. Dan itu bukan salahku.

Cintaku pada Citra perlahan mulai runtuh. Namanya yang sempat tertera di lubuk hatiku, kini telah pudar. Digantikan dengan nama lain. Elika. Ah, tapi bagaimana aku memulainya?

Percakapan di antara aku dan Elika tidak lebih dari sekedar basa – basi. Aku dengannya tidak pernah dekat. Hanya sebatas teman sekelas. Sukar rasanya jika Elika juga mencintaiku. Sebaiknya aku pendam perasaan ini rapat – rapat.
***
“Hai sayang. Selamat ya, lagi – lagi jadi juara kelas.” Citra menyelamatiku. Kedua lengannya yang mulus terlingkar di leherku. Dulu, setiap kali kami bersentuhan, selalu menimbulkan sengatan yang amat kuat. Gelombang itu sampai ke otak, kemudian otakku memerintahku untuk mengecup pipinya. Masa – masa itu sepertinya indah sekali. Tapi, itu dulu.

“Bagaimana kalo kita ke Pak Deny? Buat ngerayain keberhasilan kamu. Udah lama juga kita nggak ke sana. Mau yah?” Ajak Citra. Rumah makan Pak Deny merupakan salah satu tempat favorit kami. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Setiap akhir pekan aku dan Citra pasti pergi ke sana. Menikmati waktu yang ada. Berdua saja. Tapi, itu dulu. Semenjak perselingkuhan itu terkuak, kami jarang lagi pergi ke sana berdua. Bukannya tidak ada waktu, hanya saja aku yang enggan melakukannya lagi. Semenjak perselingkuhan itu pula, aku jadi lebih sering berbohong. Setiap kali Citra mengajakku, selalu saja ada alasan yang aku buat untuk menghindar darinya. Seperti sekarang.

“Maaf sayang. Hari ini aku mau nemenin mama aku belanja. Gak apa – apa ya?”

Kedua mata Citra menyipit. Kedua alisnya bertaut. Seakan mencium sesuatu kebohongan. “Belanja? Sejak kapan? Bukannya setiap mama kamu belanja, kamu nggak pernah mau ikut ya?” Sepandai – pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Peribahasa yang cocok untukku. Sepandai – pandainya Rengga berbohong pasti ketahuan juga.

“Tapi, kali ini mama maksa. Soalnya papa nggak bisa anterin mama.” Syukurlah ada alasan yang tepat. Tidak terlalu membuat Citra curiga. Lagi pula, aku tidak sepenuhnya bohong, kok. Papa memang sedang dinas di luar kota.

Dulu, aku selalu tidak tega untuk membohongi Citra. Mendustai perempuan yang aku cintai. Untuk menolak ajakkanya pun aku tidak pernah. Aku selalu mengangguk setuju. Sekarang? Mudah sekali untuk melakukannya. Apa karena sudah tidak ada cinta yang tersisa untuk Citra?

 Kalau memang benar sudah tidak ada cinta lagi, secepat mungkin harus kuakhiri. Aku tak ingin menyakiti orang banyak.
***
“Saran gue sih, sebaiknya lo putusin aja si Citra.” Riko memberi masukkan. Aku sudah menceritakan persoalanku pada Riko. Meminta pendapat pada sahabatku yang satu ini. Tidak mungkin kan aku meminta pendapat pada Adit?

“Gue juga maunya gitu. Tapi, gue nggak mau bikin Citra histeris. Lagian, aneh kan kalo secara tiba – tiba gue mutusin di tanpa alasan yang jelas? Akhir – akhir ini, dia juga baik banget sama gue. Gue nggak tega, Ko.”

“Rengga, coba deh lo mikir. Kalau lo bohongin diri lo sendiri dan Citra, lo jalanin hubungan lo tanpa ada perasaan, apa itu namanya lo nggak nyakitin Citra?” Kata – kata Riko barusan mulai aku serap perlahan – lahan. Mencoba mengerti apa maksudnya. Aku mulai paham. Tetapi, masih ada yang mengganjal. “Dan, gue tahu lo. Perasaan lo mulai berubah kan semenjak Citra selingkuh sama Adit?” Ah, aku ingat itu. Di saat aku memergoki Adit dan Citra di belakang sekolah. Memori akan hari itu kembali terngiang jelas di otakku. Bagaikan film. Sakit akan dikhianati kembali kurasakan. Sejak hari itu, bukan hanya perasaanku saja yang berubah, tetapi juga persahabatan antara aku dan Adit. Adit perlahan – lahan mulai menjauhiku dan Riko. Seakan merasa dirinya tidak layak.

“Iya. Gue akui itu. Tapi, gue nggak siap kalau harus lihat Citra tersakiti.”

“Apakah Citra pernah mikirin perasaan lo sewaktu dia selingkuh sama Adit? Nggak kan? Terus lo mau sampai kapan kayak gini? Suatu saat ini pasti berakhir. Dan, jangan sampai ini semua berakhir, tetapi lo menyesalinya.” Riko kemudian pergi setelah menepuk pundakku. Siluet tubuhnya berlalu, tetapi perkataannya masih terus terlintas di benakku. Perlahan, aku mulai paham maksudnya.

Aku siap.
***
Kedua bola mata di depanku sedang menatapku lekat – lekat. Mata yang selalu ingin kulihat. Selalu mendatangkan keresahan bagiku. Tapi, itu dulu. Sekarang juga masih membuatku gelisah bukan main. Bukan karena cinta. Cinta saja sudah hilang. Melainkan aku yang merasa bersalah. Aku mencoba mengingat perkataan Riko. Ucapannya beberapa waktu lalu dapat menjadi alasanku berada di situasi seperti ini.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” Tanya Citra seperti mengintrogasi. Tatapannya menyelidik. Penuh curiga. Matanya seakan mengunci mataku. Malam – malam aku datang ke rumahnya. Padahal, tadi siang aku mengatakan kalau mesti pergi bersama mama. Wajar Citra semakin curiga padaku.

Kedua matanya semakin menyipit tajam. Tak bisa lagi melirik kemanapun. Aku benci situasi ini. “Honey?” Aku tersadar dari lamunan. Citra sepertinya mulai menyadari ada sesuatu yang aku sembunyikan darinya.

“Citra. Aku ingin kita putus. Aku udah nggak ada rasa apa – apa lagi sama kamu. Semenjak perselingkuhan itu, aku merasa hubungan kita memang seharusnya berakhir.” Kalimat barusan keluar dari mulutku. Begitu cepat. Walau cepat, aku tetap berusaha agar suaraku terdengar jelas. Tak ingin aku mengulanginya. Tadi saja sudah terasa sulit bagiku untuk bersuara. Aku juga tak mau melihat ke arahnya. Takut melihat seperti apa reaksinya.

“Tapi? Argh!” Mata Citra mulai berkaca – kaca. Memerah. Aku bisa melihat ada kesedihan yang ia tahan. Bersusah payah agar air matanya tidak turun membasahi pipinya. Sia – sia saja. Toh pada akhirnya ia menangis. Aku kira ia akan menentang keputusanku. Di luar dugaanku, ia pergi dari hadapanku sambil berdecak kesal. Langkah kakinya yang terburu – buru, membuat ia semakin cepat menghilang dari jangkauan penglihatanku. Kepergiannya menyisakan sesuatu. Di satu sisi, aku merasa sesuatu ini berupa penyesalanku berbuat demikian. Di sisi yang lain, sesuatu ini berupa kelegaanku keluar dari kepura – puraan selama ini.
***
“Serius lo?” Riko masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya membesar menatapku lekat – lekat,  menggambarkan ia seperti mendengar sesuatu yang luar biasa. Aku juga menganggap apa yang baru saja aku ceritakan pada Riko sebagai hal yang luar biasa, sih. Sampai detik ini, aku masih tidak dapat mengakui ini. Hubunganku dengan Citra sudah berakhir. Aku jadi ingat dulu, sewaktu aku menyatakan cinta pada Citra. Dunia terasa milik berdua. Tidak mau aku melepaskannya. Sekarang, sepertinya mudah bagiku untuk melakukannya.

“Iya, gue serius. Barusan gue bilang kalau gue mau putus. Citra sih nggak bilang apa – apa. Dia cuma diam sambil menahan air mata. Menurut lo gue kejam gak sih?” Aku masih tidak tega kalau membayangkan seperti apa respon Citra pada permintaanku itu.

“Kejam? Justru dia yang kejam udah khianatin lo!” Ujar Riko yakin.

“Tapi, gue nggak mau ngelakuin ini semata – mata sebagai pembalasan dendam gue sama Citra. Lo tahu kan, gue bukan pendendam?” Pertanyaan retoris kulontarkan pada Riko. Riko pasti paham maksudku.

“Iya gue tahu. Udah lah. Itu semua udah terjadi. Semakin lo ingat – ingat, akan semakin bikin lo bimbang. Lagian, gue yakin kok, lo udah bikin keputusan yang tepat!”

Mendadak, aku jadi percaya diri. Aku siap untuk langkah selanjutnya.
***
Sekarang atau nggak sama sekali. Aku terus mengucapkan kalimat itu berulang – ulang dalam hati. Meyakinkan diri sendiri, tindakanku ini sudah tepat. Dan, tentunya tidak akan pernah kusesali di kemudian hari.

Sebentar lagi Ujian Nasional, menandakan sebentar lagi masa putih abu – abu akan segera berakhir. Jika sudah berakhir, aku ingin menyimpan kenangan – kenangan indah. Bila nanti Elika menolak pernyataan cintaku, aku juga akan menganggapnya kenangan indah. Bagiku, nggak masalah jika nanti Elika menolak. Setidaknya, aku sudah mengungkapkan isi hatiku. Tidak ada lagi yang perlu aku tutupi. Hampir dua tahun bagiku untuk memastikan ini semua. Dua tahun satu kelas bersama Elika. Meskipun kami tidak pernah mengobrol panjang lebar, hanya sekadar basa – basi, aku selalu memperhatikannya. Gerak – geriknya. Tanpa aku sadari, sejak kelas dua aku mulai menyukainya. Ditambah lagi dengan kenyataan perselingkuhan Citra. Namun, aku baru memutuskannya sekarang. Harusnya sejak dulu. Tak apalah. Daripada tidak sama sekali.

Berdasarkan pengamatanku selama ini, Elika penggemar coklat. Semua jenis coklat ia sukai. Mendatangkan inspirasi bagiku untuk mengungkapkan perasaanku.

Ketika bel istirahat berbunyi, seluruh siswa meninggalkan kelas menuju Kantin. Tinggallah Elika seorang diri di kursinya. Membaca buku. Seperti kebiasaannya. Aku menghampiri kursinya. Mengetahui kedatanganku, Elika mengangkat pandangannya dari buku. Menyapaku singkat. Sebelum ia kembali terhanyut dalam dunianya, aku segera menaruh dua batang coklat yang dihias dengan pita merah muda di atas mejanya.

“Apa ini?” Kedua alisnya bertaut. Ia pasti mengira aku tidak punya kalender di rumah. Tak apa kan memberikan coklat dengan paper bag bertuliskan Valentine’s Day?

“Coklat. Untukmu.” Ujarku.

“Untukku? Dalam rangka apa?” Elika menatapnya lekat – lekat.

“Udah buka aja.” Jantungku semakin berdetak tak menentu begitu Elika membuat paper bag. Ia mengeluarkan dua batang coklat. Di dasar paper bag, ada sebuah amplop biru muda. Berisikan perasaanku yang tertuang dalam surat itu. Aku memang menginginkan Elika membacanya, tetapi tak bisa kuungkiri, aku gugup. Ini kedua kalinya aku menyatakan perasaan pada seorang perempuan. Entah mengapa, menimbulkan sensasi yang berbeda.

Elika membuka amplop itu...

Ia mengeluarkan surat itu...

Ia membacanya dan....

Hening selama beberapa detik. Elika bergeming. Masih memegang surat itu. Ia menatap kertas itu. Pandangannya kosong. Kemudian, ia berbalik memandangku. Tatapannya masih kosong.
Inilah yang membuatku terkejut setengah mati. Ia bangki berdiri dan memelukku erat. Lalu berbisik, “Aku juga mencintaimu.” Aku membalas pelukkannya.

Seakan kami berdua melayang. Terbawa suasana. Tenggelam dalam lautan emosi. Aku tak percaya ini. Elika selama ini juga memendam perasaan yang sama denganku. Tak henti – hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Nampaknya, ini adalah akhir dari kisahku. Terimakasih ya Tuhan.

Tiba – tiba, aku melihat Citra di ujung pintu kelas. Ia memergoki aku dan Elika berpelukkan. Ekspresinya wajahnya memerah karena menahan emosi. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal. Ia geram melihat pemandangan seperti ini.

Ia pasti berpikir karena Elika aku memutuskan hubunganku dengannya. Jawabannya memang iya. Tetapi itu bukan jawaban yang sebenarnya. Citra yang dulu pernah tinggal di hatiku, kini digantikan oleh Elika. Aku nyaman bersama Elika.

Citra pergi meninggalkanku dan Elika yang masih berpelukkan erat. Elika belum menyadari bahwa Citra mengawasi kami berdua.

 Di setiap tawa pasti ada kesedihan. Tawaku sekarang adalah Elika. Kesedihanku adalah Citra. Bagai air dan minyak, mereka amat sangat berbeda. Aku memilih Elika. Maafkan aku, Citra. Kamu harus paham, aku sudah menemukan penggantimu. Pengkhianatan meninggalkan luka bagiku. Kehadiran Elika, menyembuhkan luka itu.

Elika yang paling aku cinta. Elika yang paling aku mau. Elika akan selalu berada di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Selamanya di hidup ini, akan selalu seperti ini. Kesabaranku menunggu, telah membuahkan hasil. Lama sekali aku hidup dalam kepura – puraan. Bersandiwara mencintai Citra. Padahal, hati kecilku tahu yang sesungguhnya. Elika. Hanya Elika. Bukan lagi Citra. Sekarang dan seterusnya, aku lah kekasih Elika. Aku juga tahu, aku lah yang paling Elika cinta. Aku yang paling Elika mau. Namaku tertera di hati Elika yang terdalam.

Selamat tinggal Citra. Selamat datang Elika.


Selamat datang Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar