Minggu, 05 April 2015

Truth or Dare

Sampai sekarang aku tidak menyangka! Terlintas dalam benakku juga tidak. Kita cuma sahabat. Tak lebih dari itu. Dari dulu kita selalu sama – sama. Saling cerita satu – sama lain. Tapi, kok.... jadi begini? Lebih tepatnya kau yang membuatnya jadi begini. Bukan aku. Seharusnya kau bisa membuang rasa itu jauh – jauh. Mengendalikannya. Bukannya menyangkutpautkan dengan permainan bodoh ini.

Aku langsung saja keluar dari kamar Selena dan  pulang. Bukannya apa – apa. Aku hanya kaget aja. Sesuatu yang tadinya aku pikir sangat tidak mungkin, sekarang jadi mungkin.

Aku tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, tidak pernah mengharapkannya. Sangat menjaga hal semacam ini tidak terjadi di antara persahabatan kami.

 Kau tidak tahu apa? Apa kau lupa? Seratus persen aku yakin kau tidak akan lupa. Dulu aku sering menceritakan ini semua denganmu. Bahkan, kau dan Selena turut memberi masukan padaku. Seingatku dulu, saran yang kau berikan sangat bagus dan bermanfaat.

Seorang lelaki sudah ada di dalam lubuk hatiku. Aku sudah memiliki seorang kekasih. Di hatiku sudah ada Reynald. Sudah tidak ada tempat kosong lagi. Bahkan, jika hatiku memang belum terisi, aku tidak akan mengijinkan kau menempatinya. Kau hanya sahabatku. Tidak lebih dari itu. Iya, aku jujur. Aku memang menyayangimu. Namun, hanya sebatas sahabat. Tidak lebih dari itu. Kita selalu bareng – bareng dari dulu. Berbagi suka maupun duka. Aku tidak mau hanya gara – gara permainan bodoh ini semuanya jadi berubah.

Aku jadi ingat dulu. Saat kau diganggu oleh Bill and the gank. Aku langsung datang dan menghajar mukanya yang penuh dengan lemak itu. Aku juga jadi ingat lagi. Saat aku sedang patah hati dengan  first love-ku. Kau bantu aku untuk bangkit. Hidup terus berjalan. Putus dari lelaki bukan berarti akhir dari segalanya, kan? Termasuk penolakkan dariku juga, kan? Iya, kan?

Aku cuma diam di sini. Memandang malam dari balkon rumah. Tidak tahu harus marah atau apa. Aku hanya bingung. Bingung dengan kenyataan ini. Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan mengiyakan ajakan Selena untuk bermain Truth or Dare.

Kenapa sih kau mesti menyukaiku? Banyak perempuan lain yang lebih baik dan cantik dari aku. Apa kau tidak tahu kalau selama ini ada yang mencintaimu?

 Selena.

Selama ini dia mencintaimu, Za. Aku bisa lihat dari matanya. Betapa kecewanya dia ketika mendengar orang yang paling kau cintai adalah aku. Jauh di dalam hati kecilnya, aku tahu. Selena sengaja mengadakan permainan ini untuk mengetahui perasaanmu padanya. Sayangnya, kau tidak bisa membalas perasaannya. Selena lebih baik dari aku, Za. Ia lebih cantik, tinggi, ideal, feminim. Sedangkan aku? Aku jauh dari kata perempuan sempurna.

Aku tahu kau pasti bisa. Bisa untuk menyadari satu hal. Apa yang kau rasakan ke aku, bukan cinta. Hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat. Aku menganggap kau bagai kakak laki – laki aku. Mendiang Reno. Semenjak kematian Reno, kau selalu ada untukku.

Kau harus menyadari itu. Sebelum semuanya berubah.

***

Dalam satu hari, persahabatan yang telah kami berdua bangun kini berubah seratus delapan puluh derajat. Segala sesuatu yang biasanya kami lakukan berdua, sekarang kami lakukan sendiri – sendiri. Berangkat sekolah sendiri, pulang sendiri, mengerjakan pr sendiri. Miris rasanya melihat ini semua.

Sudah seminggu lebih persahabatanku dengan Reza mulai hancur. Tidak. Sudah hancur berantakkan. Dulu, mudah bagiku untuk bertemu dengan Reza. Semudah membalikkan telapak tangan. Sejak pengakuan itu, seperti ada tembok yang amat sangat besar yang membatasi kami berdua. Bagai langit dan bumi. Seakan, Reza sulit kuraih.

Kalau boleh jujur, selama satu minggu ini, tak ada yang aku perbuat. Berusaha untuk menghubungi Reza juga tidak. Bisa dibilang, aku gengsi. Walau demikian, aku jujur, aku merindukan Reza. Merindukan tawanya. Merindukan kehadirannya.

Reza memang masih hidup. Akan tetapi, aku merasa ia sudah pergi. Jarang aku melihatnya di sekolah. Kemungkinan besar, ia menghindar kontak mata denganku. Pernah kami berpapasan. Aku berusaha keras untuk tidak menatap kedua matanya, anehnya mataku seperti memiliki otak sendiri. Di saat aku meliriknya, ia malah pura – pura tidak melihatku. Kecewa besar hari itu. Apa boleh buat.

Aku juga jadi sering merasa aneh sendiri. Sudah aku yakinkan pada diriku sendiri. Aku dan Reza tidak ada apa – apa. Tak ada perasaan khusus. Namun, aku selalu memikirkannya. Seperti hari ini. Ketika aku sedang makan berdua dengan Reynald, Reza masuk dalam benakku. Membuatku melamun sesaat. Reynald pun curiga. Untunglah aku segera mengajaknya menonton film horor. Genre film favoritnya. Mengalihkan perhatian Reynald sejenak dan melupakan kecerobohanku.

Ya Tuhan. Seandainya saja dapat kuulang dari awal.

***

Kedua mata Selena menatapku tak percaya. Selena masih tidak mempercayai apa yang barusan aku katakan. Aku sendiri juga masih heran.

“Serius? Hebat juga ya Reynald. Bikin kamu mau nonton film setan. Gue aja setengah mati ngajak lo buat nonton Insidious.” Ujar Selena dengan senyum lebar masih tak percaya.

“Gue sebenarnya nggak mau. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Gue gak mau Reynald sampai tahu hal ini.” Jelasku dengan singkat. Sesaat kemudian aku menyesali perkataanku. Karena, sebentar lagi pembicaraan ini akan mengarah ke sana.

“Hal apa?” Dahi Selena berkerut. Matanya menuntut penjelasan lebih dariku. “Bukan apa – apa kok” Kataku seraya mengganti topik pembicaraan. Selena masih diam menatapku. Tak menggubris ucapanku yang membahas gosip terbaru di sekolah.

“Vita. Gue mau lo jujur. Hal apa? Nggak biasanya loh lo kayak gini ini. Tiba – tiba mau nonton film setan. Gue tahu lo, Vit” Pertanyaan Selena barusan seperti menodongku dengan pisau. Matanya menatap tajam ke arahku. Yang aku lakukan hanya menundukkan kepala. Tak berani menatap matanya yang mengintimidasi. Ini menjadi serius.

“Vita... Ayolah. Bilang. Gak apa – apa .” Selena membujukku untuk menceritakannya. Aku tak berani berkata apapun. Takut mengingatkan Selena bahwa pria yang selama ini dicintainya tidak pernah membalas cintanya. Itu saja sudah membuat Selena remuk. Apalagi jika ia mengingatnya kembali? Mengingat Reza mengucapkan itu semua.

“Vita. Gue siap denger cerita lo. Apapun itu.” Selena sudah tahu rupanya kemana arah pembicaraan ini.  Pastinya juga Selena sudah tahu perang dingin di antara aku dan Reza. Mau tak mau aku menceritakan semuanya. Semuanya secara jelas. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangi. Suaraku terdengar lirih. Tanpa kusadari, air mataku menumpuk di pelupuk mataku. Perlahan, mulai turun ke bawah dan membasahi pipiku. Suaraku yang sedang bercerita terdengar serak. Tangisanku pun tak dapat terbendung lagi. Aku menangis sepuasnya. Bahuku bergoncang. Rasanya aku sedang menanggung beban yang amat sangat berat. Persahabatan yang susah payah kami bangun berdua sudah akan hancur di depan mata. Dan, aku tidak dapat berbuat apapun untuk mencegahnya. Hanya dapat menyaksikan menara yang telah aku dan Reza bangun berdua mulai tumbang.

Persahabatanku dengan Reza akan hancur hanya karena cinta. Hanya karena permainan konyol itu. Truth or Dare. Fuck!

Selena yang mengetahui apa yang sedang aku rasakan, meraih tanganku dan memelukku. Pelukkan yang erat dan melindungi. Ia memang sahabat yang baik. Datang ke dalam kehidupan kami berdua. Awalnya, aku dan Reza menyambut Selena sebagai sahabat baru kami. Dulu kami berdua, sekarang kami bertiga. Dan sebentar lagi, Reza pergi meninggalkan kita. Malahan sudah mulai menjauh.

Mengingat semua itu, air mataku keluar tiada henti. Semakin memanas. Perih rasanya. Momen – momen bahagiaku dengan Reza sejak dulu kini bagai sebuah film. Terputar dengan jelas. Seperti apa senyum Reza sewaktu ia tahu aku satu SMA dengannya. Seperti apa kebahagiaan yang Reza rasakan ketika aku memberinya kejutan pada ulang tahunnya yang ke enam belas. Yang paling penting, tergambar dengan jelas sewaktu dulu kami bermain bersama.

Itu amat sangat menyakitkan. Menusuk tepat di jantungku. Membuat semuanya berhenti. Sulit bagiku untuk bernapas. Seluruh oksigen seperti menghilang begitu saja dari permukaan bumi. Mentertawakan kepedihan yang aku rasakan. Tubuhku terasa lemas. Sulit untuk berdiri.

“Vita...” Kata Selena dengan lembut sambil melepaskan pelukannya. Aku dapat melihat seulas senyum di wajahnya. Heran. Bisa – bisanya ia tegar. Padahal cintanya bertepuk sebelah tangan.

“Udah ya. Lo tenang dulu. Sebenarnya...” Selena menarik satu tarikan nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Berat pastinya untuk menuturkan ini semua. “Gue sudah menduga sejak gue masuk ke sini. Dan, kalian sudah bersahabat sebelumnya. Dari cara Reza memperlakukan lo beda banget sama cara dia memperlakukan perempuan lain. Termasuk gue.”

Aku semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lo salah, Sel. Reza juga sayang sama lo. Di dalam hidupnya hanya ada dua orang perempuan spesial. Gue dan lo. Kita itu sahabatnya Reza. Menurut gue, lo salah sangka kalau Reza memperlakukan lo berbeda.”

Selena menatapku lekat – lekat. Lalu, melanjutkan. “Itu dia. Lo sendiri sudah tahu jawabannya. Gue sahabatnya. Tapi, lo bukan sahabatnya Reza. Reza tidak pernah nganggep lo sebagai sahabatnya.” Bagai tamparan keras perkataan Selena barusan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Namun, hanya menggangtung saja di bibirku setelah Selena berkata, “Lo itu spesial bagi Reza. Ia cinta mati sama lo dari dulu. Hanya saja lo belum menyadari itu. Sadarlah, Vita. Lo harus tahu itu. Jangan lagi lari dari kenyataan. Sudah saatnya bagi lo untuk tahu hal ini.”

Tadinya aku berharap Selena mau membantuku melewati semua ini. Nyatanya ? Ia malah seperti memojokkanku di sini.

“Tak apa, Vit. Gue tidak pernah memaksa Reza untuk cinta sama gue. Itu semuanya takdir. Tuhan yang mengatur itu semua. Gue bisa apa?”

“Gue bisa apa, Sel? Gue sudah ada yang punya. Gue milik Reynald. Mana mungkin gue terima perasaan Reza.”

“Vita. Tanya pada hati kecil lo. Apa lo benar – benar mencintai Reynald? Atau, mana yang lebih lo sayang? Reynald sebagai cowok lo atau malah Reza sebagai sahabat baik lo? Menurut gue lo itu bukan milik siapa – siapa. Belum tentu jodoh lo bersama Reynald. Ingat, Vita. Sekali sahabat tetap sahabat. Tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.” Ucapan Selena barusan terdengar menggantung. Mengundang seribu pertanyaan. Sayangnya, semua pertanyaan tersebut belum dapat dijawab. Sesuatu telah mengubah segalanya.
***
Hari ini aku yakin. Yakin untuk bertemu dengan Reza dan mengatakan bahwa aku sudah siap. Siap untuk melanjutkan persahabatan kami. Toh, Reza hanya jujur pada perasaannya. Ia tidak menuntut apa – apa dariku.

Aku cuma ingin tidak ada yang berubah. Kalau boleh jujur, aku masih menyayangi Reza sebagai sahabatku. Kalau Reynald, aku belum tahu apakah ini hanya sekedar perasaan kagum atau apa. Biar waktu yang menjawabnya.

Sudah lebih dari satu jam aku menunggunya di taman seberang gerbang sekolah. Aku mengatakan padanya untuk bertemu di sini pukul dua siang. Namun, sekarang sudah pukul tiga siang dan ia belum juga muncul. Aku mulai gelisah. Apa mungkin ia marah dan tidak mau bertemuku? Ah, rasanya itu tidak mungkin. Ia pasti ingin bertemu denganku. Ia pasti merindukanku sama seperti aku merindukannya.

Beberapa menit kemudian kegelisahan yang tadi datang kini lenyap seketika begitu aku melihat Reza berdiri di depan gerbang sekolah. Dengan baju seragam sedikit berantakan, rambut yang berantakan juga ada sebuah senyum mengembang di wajahnya. Bisa aku lihat di matanya ada sebuah harapan begitu melihatku. Aku juga merasakan sesuatu yang lain. Aku merindukannya. Segera aku berlari ke arahnya dengan girang dan penuh semangat. Reza juga berlari ke arahku. Semakin kami mendekat aku semakin memastikan ia juga senang begitu melihatku.

Sampai tiba – tiba semuanya berubah. Hanya sekejap. Tidak sampai satu menit. Merubah semuanya tanpa bisa aku atau Reza cegah.

Sebuah truk datang dari arah kananku dan arah kiri Reza. Melaju dengan kecepatan tinggi. Reza yang saat itu tengah sadar segera berlari dengan cepat ke arahku dan mendorong tubuhku menjauh dari tengah jalan. Membiarkan tubuhnya dihantam benda sebesar itu. Tubuh lelaki itu terlempar sangat jauh. Terhempas begitu saja. Darah mulai mengalir membasahi tubuh dan jalanan.

Dan, aku tahu. Aku terlambat.

Dadaku terasa sesak. Otakku seakan berhenti bekerja. Lamban untu memproses apa yang baru kulihat. Wajahku pucat pasi. Tubuhku melemas. Tidak mampu berdiri dengan kekuatanku sendiri. Tidak mampu menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

Aku tidak mampu.

Dulu, aku tidak pernah menghiraukan perasaan Reza. Aku tidak mengerti mengapa semuanya jadi begini. Tapi, saat semuanya berubah, Reza jauh dariku. Pergi meninggalkanku. Aku sadar, aku selama ini mencintai Reza. Aku menyesal telah bertindak bodoh. Aku hanya ingkari kata hati kecilku.

Aku mencintaimu Reza. Maafkan aku karena baru jujur sekarang.


Mengapa cinta datang terlambat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar