Rabu, 23 Desember 2015

Cangkang

            Pagi berangkat kuliah, sampai di kampus segera check in di Path. Dosen datang, asyik dengan jejaring sosial di belakang. Sibuk update di Snapchat. Pulang kuliah mampir di Starbucks berhubung sudah tanggal dua puluh dua. Mendapat potongan harga sebesar lima puluh persen tentu tidak akan disia – siakan. Setelah menikmati kopi dalam tumbler, kembali check in di Path. Sepulang kuliah kembali tenggelam dalam serunya chatting di jejaring sosial di atas tempat tidur.

Hari berikutnya tidak jauh beda (tentunya tidak kembali ke Starbucks). Puluhan hari dilalui dengan demikian. Belum lagi jika ada even – even anak muda seperti DWP, Jakcloth, dan sebagainya. Terasa bukan anak muda bila tidak ikut hal – hal tersebut.

            Semua orang perlu pengakuan. Diakui sebagai anak kuliahan, mobilitas tinggi, orang kaya, anak gaul, dan hal – hal semacam itu. Jika ingin ditinjau lebih lanjut, itu semua bukanlah kebutuhan seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa hanya membutuhkan adalah waktu. Ya, sederhana memang, namun sering kali hal semacam itu dipandang sebelah mata.

            Mahasiswa hanya memerlukan waktu. Waktu untuk menjadikannya sebagai pribadi yang produktif dan bermanfaat bagi kehidupan sekitar. Menjadi berkat di mana ia berada. Tentunya bukan hal yang salah bila Anda aktif di berbagai macam organisasi. Salah bila aktif di organisasi hanya sebagai sebuah status untuk pamer ataupun sebuah titel dengan mobilitas yang tinggi. Salah jika setiap kegiatan yang Anda ikuti hanya sebatas mengikuti sahabat Anda. Yang lebih parah, aktif tanpa visi!
            Berganti iPhone 6 dari iPhone 5, padahal iPhone 5 yang ada punya masih bagus dan berfungsi. Anda menggantinya hanya karena ingin “lebih” dari pada orang – orang di sekitar Anda. Jika demikian, tentu saja jika iPhone 7 keluar, iPhone 6 Anda akan segera dilempar.

            Membeli Docmart hanya karena teman – teman Anda mengenakannya. Padahal, Anda tidak memiliki uang untuk membeli. Atau, yang lebih parah lagi jika Anda mengenakan sepatu itu, membuat penampilan Anda terlihat seperti satpam!

            Teman – teman di lingkungan baru Anda pergi ke DWP. Anda merasa akan tersisihkan bila Anda tidak pergi. Padahal, Anda tidak tahu apa itu DWP. Pergi ke sana pun Anda belum pernah. Akhirnya pula Anda pergi dan ikut bergoyang tanpa tujuan yang jelas.

            Ada sebuah baju yang terlalu besar untuk Anda. Teman – teman Anda adalah orang yang obesitas. Hanya karena tidak sama dengan teman – teman Anda, Anda membeli semua fastfood dan Anda setengah mati berusaha memakan sampah tersebut agar Anda bisa mengenakan baju yang kebesaran tadi. Atau sebaliknya. Akibat baju yang terlalu sempit untuk Anda, Anda diet mati – matian agar bisa memakai baju yang super sempit itu. Di akhir cerita, Anda mengalami gizi buruk.

            If it’s not you, stop it! Just be yourself, whatever they say. It’s your life. You ain’t life forever.


            Jangan biarkan diri Anda terperangkap dalam cangkang.

Minggu, 05 April 2015

Truth or Dare

Sampai sekarang aku tidak menyangka! Terlintas dalam benakku juga tidak. Kita cuma sahabat. Tak lebih dari itu. Dari dulu kita selalu sama – sama. Saling cerita satu – sama lain. Tapi, kok.... jadi begini? Lebih tepatnya kau yang membuatnya jadi begini. Bukan aku. Seharusnya kau bisa membuang rasa itu jauh – jauh. Mengendalikannya. Bukannya menyangkutpautkan dengan permainan bodoh ini.

Aku langsung saja keluar dari kamar Selena dan  pulang. Bukannya apa – apa. Aku hanya kaget aja. Sesuatu yang tadinya aku pikir sangat tidak mungkin, sekarang jadi mungkin.

Aku tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, tidak pernah mengharapkannya. Sangat menjaga hal semacam ini tidak terjadi di antara persahabatan kami.

 Kau tidak tahu apa? Apa kau lupa? Seratus persen aku yakin kau tidak akan lupa. Dulu aku sering menceritakan ini semua denganmu. Bahkan, kau dan Selena turut memberi masukan padaku. Seingatku dulu, saran yang kau berikan sangat bagus dan bermanfaat.

Seorang lelaki sudah ada di dalam lubuk hatiku. Aku sudah memiliki seorang kekasih. Di hatiku sudah ada Reynald. Sudah tidak ada tempat kosong lagi. Bahkan, jika hatiku memang belum terisi, aku tidak akan mengijinkan kau menempatinya. Kau hanya sahabatku. Tidak lebih dari itu. Iya, aku jujur. Aku memang menyayangimu. Namun, hanya sebatas sahabat. Tidak lebih dari itu. Kita selalu bareng – bareng dari dulu. Berbagi suka maupun duka. Aku tidak mau hanya gara – gara permainan bodoh ini semuanya jadi berubah.

Aku jadi ingat dulu. Saat kau diganggu oleh Bill and the gank. Aku langsung datang dan menghajar mukanya yang penuh dengan lemak itu. Aku juga jadi ingat lagi. Saat aku sedang patah hati dengan  first love-ku. Kau bantu aku untuk bangkit. Hidup terus berjalan. Putus dari lelaki bukan berarti akhir dari segalanya, kan? Termasuk penolakkan dariku juga, kan? Iya, kan?

Aku cuma diam di sini. Memandang malam dari balkon rumah. Tidak tahu harus marah atau apa. Aku hanya bingung. Bingung dengan kenyataan ini. Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan mengiyakan ajakan Selena untuk bermain Truth or Dare.

Kenapa sih kau mesti menyukaiku? Banyak perempuan lain yang lebih baik dan cantik dari aku. Apa kau tidak tahu kalau selama ini ada yang mencintaimu?

 Selena.

Selama ini dia mencintaimu, Za. Aku bisa lihat dari matanya. Betapa kecewanya dia ketika mendengar orang yang paling kau cintai adalah aku. Jauh di dalam hati kecilnya, aku tahu. Selena sengaja mengadakan permainan ini untuk mengetahui perasaanmu padanya. Sayangnya, kau tidak bisa membalas perasaannya. Selena lebih baik dari aku, Za. Ia lebih cantik, tinggi, ideal, feminim. Sedangkan aku? Aku jauh dari kata perempuan sempurna.

Aku tahu kau pasti bisa. Bisa untuk menyadari satu hal. Apa yang kau rasakan ke aku, bukan cinta. Hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat. Aku menganggap kau bagai kakak laki – laki aku. Mendiang Reno. Semenjak kematian Reno, kau selalu ada untukku.

Kau harus menyadari itu. Sebelum semuanya berubah.

***

Dalam satu hari, persahabatan yang telah kami berdua bangun kini berubah seratus delapan puluh derajat. Segala sesuatu yang biasanya kami lakukan berdua, sekarang kami lakukan sendiri – sendiri. Berangkat sekolah sendiri, pulang sendiri, mengerjakan pr sendiri. Miris rasanya melihat ini semua.

Sudah seminggu lebih persahabatanku dengan Reza mulai hancur. Tidak. Sudah hancur berantakkan. Dulu, mudah bagiku untuk bertemu dengan Reza. Semudah membalikkan telapak tangan. Sejak pengakuan itu, seperti ada tembok yang amat sangat besar yang membatasi kami berdua. Bagai langit dan bumi. Seakan, Reza sulit kuraih.

Kalau boleh jujur, selama satu minggu ini, tak ada yang aku perbuat. Berusaha untuk menghubungi Reza juga tidak. Bisa dibilang, aku gengsi. Walau demikian, aku jujur, aku merindukan Reza. Merindukan tawanya. Merindukan kehadirannya.

Reza memang masih hidup. Akan tetapi, aku merasa ia sudah pergi. Jarang aku melihatnya di sekolah. Kemungkinan besar, ia menghindar kontak mata denganku. Pernah kami berpapasan. Aku berusaha keras untuk tidak menatap kedua matanya, anehnya mataku seperti memiliki otak sendiri. Di saat aku meliriknya, ia malah pura – pura tidak melihatku. Kecewa besar hari itu. Apa boleh buat.

Aku juga jadi sering merasa aneh sendiri. Sudah aku yakinkan pada diriku sendiri. Aku dan Reza tidak ada apa – apa. Tak ada perasaan khusus. Namun, aku selalu memikirkannya. Seperti hari ini. Ketika aku sedang makan berdua dengan Reynald, Reza masuk dalam benakku. Membuatku melamun sesaat. Reynald pun curiga. Untunglah aku segera mengajaknya menonton film horor. Genre film favoritnya. Mengalihkan perhatian Reynald sejenak dan melupakan kecerobohanku.

Ya Tuhan. Seandainya saja dapat kuulang dari awal.

***

Kedua mata Selena menatapku tak percaya. Selena masih tidak mempercayai apa yang barusan aku katakan. Aku sendiri juga masih heran.

“Serius? Hebat juga ya Reynald. Bikin kamu mau nonton film setan. Gue aja setengah mati ngajak lo buat nonton Insidious.” Ujar Selena dengan senyum lebar masih tak percaya.

“Gue sebenarnya nggak mau. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Gue gak mau Reynald sampai tahu hal ini.” Jelasku dengan singkat. Sesaat kemudian aku menyesali perkataanku. Karena, sebentar lagi pembicaraan ini akan mengarah ke sana.

“Hal apa?” Dahi Selena berkerut. Matanya menuntut penjelasan lebih dariku. “Bukan apa – apa kok” Kataku seraya mengganti topik pembicaraan. Selena masih diam menatapku. Tak menggubris ucapanku yang membahas gosip terbaru di sekolah.

“Vita. Gue mau lo jujur. Hal apa? Nggak biasanya loh lo kayak gini ini. Tiba – tiba mau nonton film setan. Gue tahu lo, Vit” Pertanyaan Selena barusan seperti menodongku dengan pisau. Matanya menatap tajam ke arahku. Yang aku lakukan hanya menundukkan kepala. Tak berani menatap matanya yang mengintimidasi. Ini menjadi serius.

“Vita... Ayolah. Bilang. Gak apa – apa .” Selena membujukku untuk menceritakannya. Aku tak berani berkata apapun. Takut mengingatkan Selena bahwa pria yang selama ini dicintainya tidak pernah membalas cintanya. Itu saja sudah membuat Selena remuk. Apalagi jika ia mengingatnya kembali? Mengingat Reza mengucapkan itu semua.

“Vita. Gue siap denger cerita lo. Apapun itu.” Selena sudah tahu rupanya kemana arah pembicaraan ini.  Pastinya juga Selena sudah tahu perang dingin di antara aku dan Reza. Mau tak mau aku menceritakan semuanya. Semuanya secara jelas. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangi. Suaraku terdengar lirih. Tanpa kusadari, air mataku menumpuk di pelupuk mataku. Perlahan, mulai turun ke bawah dan membasahi pipiku. Suaraku yang sedang bercerita terdengar serak. Tangisanku pun tak dapat terbendung lagi. Aku menangis sepuasnya. Bahuku bergoncang. Rasanya aku sedang menanggung beban yang amat sangat berat. Persahabatan yang susah payah kami bangun berdua sudah akan hancur di depan mata. Dan, aku tidak dapat berbuat apapun untuk mencegahnya. Hanya dapat menyaksikan menara yang telah aku dan Reza bangun berdua mulai tumbang.

Persahabatanku dengan Reza akan hancur hanya karena cinta. Hanya karena permainan konyol itu. Truth or Dare. Fuck!

Selena yang mengetahui apa yang sedang aku rasakan, meraih tanganku dan memelukku. Pelukkan yang erat dan melindungi. Ia memang sahabat yang baik. Datang ke dalam kehidupan kami berdua. Awalnya, aku dan Reza menyambut Selena sebagai sahabat baru kami. Dulu kami berdua, sekarang kami bertiga. Dan sebentar lagi, Reza pergi meninggalkan kita. Malahan sudah mulai menjauh.

Mengingat semua itu, air mataku keluar tiada henti. Semakin memanas. Perih rasanya. Momen – momen bahagiaku dengan Reza sejak dulu kini bagai sebuah film. Terputar dengan jelas. Seperti apa senyum Reza sewaktu ia tahu aku satu SMA dengannya. Seperti apa kebahagiaan yang Reza rasakan ketika aku memberinya kejutan pada ulang tahunnya yang ke enam belas. Yang paling penting, tergambar dengan jelas sewaktu dulu kami bermain bersama.

Itu amat sangat menyakitkan. Menusuk tepat di jantungku. Membuat semuanya berhenti. Sulit bagiku untuk bernapas. Seluruh oksigen seperti menghilang begitu saja dari permukaan bumi. Mentertawakan kepedihan yang aku rasakan. Tubuhku terasa lemas. Sulit untuk berdiri.

“Vita...” Kata Selena dengan lembut sambil melepaskan pelukannya. Aku dapat melihat seulas senyum di wajahnya. Heran. Bisa – bisanya ia tegar. Padahal cintanya bertepuk sebelah tangan.

“Udah ya. Lo tenang dulu. Sebenarnya...” Selena menarik satu tarikan nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Berat pastinya untuk menuturkan ini semua. “Gue sudah menduga sejak gue masuk ke sini. Dan, kalian sudah bersahabat sebelumnya. Dari cara Reza memperlakukan lo beda banget sama cara dia memperlakukan perempuan lain. Termasuk gue.”

Aku semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lo salah, Sel. Reza juga sayang sama lo. Di dalam hidupnya hanya ada dua orang perempuan spesial. Gue dan lo. Kita itu sahabatnya Reza. Menurut gue, lo salah sangka kalau Reza memperlakukan lo berbeda.”

Selena menatapku lekat – lekat. Lalu, melanjutkan. “Itu dia. Lo sendiri sudah tahu jawabannya. Gue sahabatnya. Tapi, lo bukan sahabatnya Reza. Reza tidak pernah nganggep lo sebagai sahabatnya.” Bagai tamparan keras perkataan Selena barusan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Namun, hanya menggangtung saja di bibirku setelah Selena berkata, “Lo itu spesial bagi Reza. Ia cinta mati sama lo dari dulu. Hanya saja lo belum menyadari itu. Sadarlah, Vita. Lo harus tahu itu. Jangan lagi lari dari kenyataan. Sudah saatnya bagi lo untuk tahu hal ini.”

Tadinya aku berharap Selena mau membantuku melewati semua ini. Nyatanya ? Ia malah seperti memojokkanku di sini.

“Tak apa, Vit. Gue tidak pernah memaksa Reza untuk cinta sama gue. Itu semuanya takdir. Tuhan yang mengatur itu semua. Gue bisa apa?”

“Gue bisa apa, Sel? Gue sudah ada yang punya. Gue milik Reynald. Mana mungkin gue terima perasaan Reza.”

“Vita. Tanya pada hati kecil lo. Apa lo benar – benar mencintai Reynald? Atau, mana yang lebih lo sayang? Reynald sebagai cowok lo atau malah Reza sebagai sahabat baik lo? Menurut gue lo itu bukan milik siapa – siapa. Belum tentu jodoh lo bersama Reynald. Ingat, Vita. Sekali sahabat tetap sahabat. Tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.” Ucapan Selena barusan terdengar menggantung. Mengundang seribu pertanyaan. Sayangnya, semua pertanyaan tersebut belum dapat dijawab. Sesuatu telah mengubah segalanya.
***
Hari ini aku yakin. Yakin untuk bertemu dengan Reza dan mengatakan bahwa aku sudah siap. Siap untuk melanjutkan persahabatan kami. Toh, Reza hanya jujur pada perasaannya. Ia tidak menuntut apa – apa dariku.

Aku cuma ingin tidak ada yang berubah. Kalau boleh jujur, aku masih menyayangi Reza sebagai sahabatku. Kalau Reynald, aku belum tahu apakah ini hanya sekedar perasaan kagum atau apa. Biar waktu yang menjawabnya.

Sudah lebih dari satu jam aku menunggunya di taman seberang gerbang sekolah. Aku mengatakan padanya untuk bertemu di sini pukul dua siang. Namun, sekarang sudah pukul tiga siang dan ia belum juga muncul. Aku mulai gelisah. Apa mungkin ia marah dan tidak mau bertemuku? Ah, rasanya itu tidak mungkin. Ia pasti ingin bertemu denganku. Ia pasti merindukanku sama seperti aku merindukannya.

Beberapa menit kemudian kegelisahan yang tadi datang kini lenyap seketika begitu aku melihat Reza berdiri di depan gerbang sekolah. Dengan baju seragam sedikit berantakan, rambut yang berantakan juga ada sebuah senyum mengembang di wajahnya. Bisa aku lihat di matanya ada sebuah harapan begitu melihatku. Aku juga merasakan sesuatu yang lain. Aku merindukannya. Segera aku berlari ke arahnya dengan girang dan penuh semangat. Reza juga berlari ke arahku. Semakin kami mendekat aku semakin memastikan ia juga senang begitu melihatku.

Sampai tiba – tiba semuanya berubah. Hanya sekejap. Tidak sampai satu menit. Merubah semuanya tanpa bisa aku atau Reza cegah.

Sebuah truk datang dari arah kananku dan arah kiri Reza. Melaju dengan kecepatan tinggi. Reza yang saat itu tengah sadar segera berlari dengan cepat ke arahku dan mendorong tubuhku menjauh dari tengah jalan. Membiarkan tubuhnya dihantam benda sebesar itu. Tubuh lelaki itu terlempar sangat jauh. Terhempas begitu saja. Darah mulai mengalir membasahi tubuh dan jalanan.

Dan, aku tahu. Aku terlambat.

Dadaku terasa sesak. Otakku seakan berhenti bekerja. Lamban untu memproses apa yang baru kulihat. Wajahku pucat pasi. Tubuhku melemas. Tidak mampu berdiri dengan kekuatanku sendiri. Tidak mampu menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

Aku tidak mampu.

Dulu, aku tidak pernah menghiraukan perasaan Reza. Aku tidak mengerti mengapa semuanya jadi begini. Tapi, saat semuanya berubah, Reza jauh dariku. Pergi meninggalkanku. Aku sadar, aku selama ini mencintai Reza. Aku menyesal telah bertindak bodoh. Aku hanya ingkari kata hati kecilku.

Aku mencintaimu Reza. Maafkan aku karena baru jujur sekarang.


Mengapa cinta datang terlambat?

Jumat, 03 April 2015

Selamat Datang Cinta


Sudah hampir tiga tahun aku mengenalnya. Sejak mengenakan seragam putih abu – abu. Aku ingat betul. Pagi itu, di depan gerbang sekolah kami berdua sama – sama terlambat di hari pertama kali MOS. Hukuman berupa push – up dari senior sok berkuasa itu kami terima. Melakukan dalam diam. Namun, dalam hati aku mengumpat.

            Setelah itu, kami tidak pernah lagi berbicara. Kalau berpapasan pun, biasa saja. Di kelas X kami berbeda kelas. Aku kelas X – 6 dan dia kelas X – 2. Membuat jarak di antara kami semakin terbentang luas. Lalu, ketika mulai penjurusan aku dan Elika mendapat jurusan yang sama. Jurusan yang kami mau. Tadinya aku pikir kami akan berbeda kelas lagi, nyatanya kelas yang sama. XI IPA 3.
Di situlah semuanya dimulai.

            Aku tidak tahu dari mana semua ini bermula. Apakah sejak awal menginjakkan kaki di SMA Minerva kah? Atau, semenjak kami satu kelas? Perutku terasa mual tiap kali melihatnya. Seperti ada jutaan kupu – kupu bertebangan di dalam sana. Detak jantungku juga tidak karuan tiap kali melihatnya. Tubuhku menghangat. Kenapa ya? Akhirnya, aku menyimpulkan aku telah jatuh cinta pada Elika.

            Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat atau tidak. Apakah ini cinta sungguhan apa cinta monyet pun aku tidak mengerti. Yang aku tahu, ini adalah sesuatu yang berbeda. Tidak sama dengan apa yang aku dan Citra lalui.

            Kau ingin bilang aku laki – laki berengsek? Silahkan. Itu kenyataan. Jatuh cinta kepada perempuan lain di saat aku telah memiliki kekasih. Bukannya aku ingin mengkhianati Citra, hanya saja aku tidak bisa berbohong. Tidak dapat berpura – pura. Aku pernah mencintai Citra. Menyayanginya sebagaimana layaknya sepasang kekasih.

Seiring berjalannya waktu, perasaanku padanya mulai berubah. Semenjak aku memergokinya selingkuh bersama Adit. Sahabatku sendiri. Ya, semenjak itu perasaanku mulai berubah. Aku memang sudah memaafkan Citra. Sudah berjanji pada Citra untuk memulai semua ini dari awal lagi. Tetap saja aku merasa ada yang janggal.

Semuanya tidak pernah akan menjadi sama lagi seperti dulu. Ada yang berbeda, mengganjal. Dan itu bukan salahku.

Cintaku pada Citra perlahan mulai runtuh. Namanya yang sempat tertera di lubuk hatiku, kini telah pudar. Digantikan dengan nama lain. Elika. Ah, tapi bagaimana aku memulainya?

Percakapan di antara aku dan Elika tidak lebih dari sekedar basa – basi. Aku dengannya tidak pernah dekat. Hanya sebatas teman sekelas. Sukar rasanya jika Elika juga mencintaiku. Sebaiknya aku pendam perasaan ini rapat – rapat.
***
“Hai sayang. Selamat ya, lagi – lagi jadi juara kelas.” Citra menyelamatiku. Kedua lengannya yang mulus terlingkar di leherku. Dulu, setiap kali kami bersentuhan, selalu menimbulkan sengatan yang amat kuat. Gelombang itu sampai ke otak, kemudian otakku memerintahku untuk mengecup pipinya. Masa – masa itu sepertinya indah sekali. Tapi, itu dulu.

“Bagaimana kalo kita ke Pak Deny? Buat ngerayain keberhasilan kamu. Udah lama juga kita nggak ke sana. Mau yah?” Ajak Citra. Rumah makan Pak Deny merupakan salah satu tempat favorit kami. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Setiap akhir pekan aku dan Citra pasti pergi ke sana. Menikmati waktu yang ada. Berdua saja. Tapi, itu dulu. Semenjak perselingkuhan itu terkuak, kami jarang lagi pergi ke sana berdua. Bukannya tidak ada waktu, hanya saja aku yang enggan melakukannya lagi. Semenjak perselingkuhan itu pula, aku jadi lebih sering berbohong. Setiap kali Citra mengajakku, selalu saja ada alasan yang aku buat untuk menghindar darinya. Seperti sekarang.

“Maaf sayang. Hari ini aku mau nemenin mama aku belanja. Gak apa – apa ya?”

Kedua mata Citra menyipit. Kedua alisnya bertaut. Seakan mencium sesuatu kebohongan. “Belanja? Sejak kapan? Bukannya setiap mama kamu belanja, kamu nggak pernah mau ikut ya?” Sepandai – pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Peribahasa yang cocok untukku. Sepandai – pandainya Rengga berbohong pasti ketahuan juga.

“Tapi, kali ini mama maksa. Soalnya papa nggak bisa anterin mama.” Syukurlah ada alasan yang tepat. Tidak terlalu membuat Citra curiga. Lagi pula, aku tidak sepenuhnya bohong, kok. Papa memang sedang dinas di luar kota.

Dulu, aku selalu tidak tega untuk membohongi Citra. Mendustai perempuan yang aku cintai. Untuk menolak ajakkanya pun aku tidak pernah. Aku selalu mengangguk setuju. Sekarang? Mudah sekali untuk melakukannya. Apa karena sudah tidak ada cinta yang tersisa untuk Citra?

 Kalau memang benar sudah tidak ada cinta lagi, secepat mungkin harus kuakhiri. Aku tak ingin menyakiti orang banyak.
***
“Saran gue sih, sebaiknya lo putusin aja si Citra.” Riko memberi masukkan. Aku sudah menceritakan persoalanku pada Riko. Meminta pendapat pada sahabatku yang satu ini. Tidak mungkin kan aku meminta pendapat pada Adit?

“Gue juga maunya gitu. Tapi, gue nggak mau bikin Citra histeris. Lagian, aneh kan kalo secara tiba – tiba gue mutusin di tanpa alasan yang jelas? Akhir – akhir ini, dia juga baik banget sama gue. Gue nggak tega, Ko.”

“Rengga, coba deh lo mikir. Kalau lo bohongin diri lo sendiri dan Citra, lo jalanin hubungan lo tanpa ada perasaan, apa itu namanya lo nggak nyakitin Citra?” Kata – kata Riko barusan mulai aku serap perlahan – lahan. Mencoba mengerti apa maksudnya. Aku mulai paham. Tetapi, masih ada yang mengganjal. “Dan, gue tahu lo. Perasaan lo mulai berubah kan semenjak Citra selingkuh sama Adit?” Ah, aku ingat itu. Di saat aku memergoki Adit dan Citra di belakang sekolah. Memori akan hari itu kembali terngiang jelas di otakku. Bagaikan film. Sakit akan dikhianati kembali kurasakan. Sejak hari itu, bukan hanya perasaanku saja yang berubah, tetapi juga persahabatan antara aku dan Adit. Adit perlahan – lahan mulai menjauhiku dan Riko. Seakan merasa dirinya tidak layak.

“Iya. Gue akui itu. Tapi, gue nggak siap kalau harus lihat Citra tersakiti.”

“Apakah Citra pernah mikirin perasaan lo sewaktu dia selingkuh sama Adit? Nggak kan? Terus lo mau sampai kapan kayak gini? Suatu saat ini pasti berakhir. Dan, jangan sampai ini semua berakhir, tetapi lo menyesalinya.” Riko kemudian pergi setelah menepuk pundakku. Siluet tubuhnya berlalu, tetapi perkataannya masih terus terlintas di benakku. Perlahan, aku mulai paham maksudnya.

Aku siap.
***
Kedua bola mata di depanku sedang menatapku lekat – lekat. Mata yang selalu ingin kulihat. Selalu mendatangkan keresahan bagiku. Tapi, itu dulu. Sekarang juga masih membuatku gelisah bukan main. Bukan karena cinta. Cinta saja sudah hilang. Melainkan aku yang merasa bersalah. Aku mencoba mengingat perkataan Riko. Ucapannya beberapa waktu lalu dapat menjadi alasanku berada di situasi seperti ini.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” Tanya Citra seperti mengintrogasi. Tatapannya menyelidik. Penuh curiga. Matanya seakan mengunci mataku. Malam – malam aku datang ke rumahnya. Padahal, tadi siang aku mengatakan kalau mesti pergi bersama mama. Wajar Citra semakin curiga padaku.

Kedua matanya semakin menyipit tajam. Tak bisa lagi melirik kemanapun. Aku benci situasi ini. “Honey?” Aku tersadar dari lamunan. Citra sepertinya mulai menyadari ada sesuatu yang aku sembunyikan darinya.

“Citra. Aku ingin kita putus. Aku udah nggak ada rasa apa – apa lagi sama kamu. Semenjak perselingkuhan itu, aku merasa hubungan kita memang seharusnya berakhir.” Kalimat barusan keluar dari mulutku. Begitu cepat. Walau cepat, aku tetap berusaha agar suaraku terdengar jelas. Tak ingin aku mengulanginya. Tadi saja sudah terasa sulit bagiku untuk bersuara. Aku juga tak mau melihat ke arahnya. Takut melihat seperti apa reaksinya.

“Tapi? Argh!” Mata Citra mulai berkaca – kaca. Memerah. Aku bisa melihat ada kesedihan yang ia tahan. Bersusah payah agar air matanya tidak turun membasahi pipinya. Sia – sia saja. Toh pada akhirnya ia menangis. Aku kira ia akan menentang keputusanku. Di luar dugaanku, ia pergi dari hadapanku sambil berdecak kesal. Langkah kakinya yang terburu – buru, membuat ia semakin cepat menghilang dari jangkauan penglihatanku. Kepergiannya menyisakan sesuatu. Di satu sisi, aku merasa sesuatu ini berupa penyesalanku berbuat demikian. Di sisi yang lain, sesuatu ini berupa kelegaanku keluar dari kepura – puraan selama ini.
***
“Serius lo?” Riko masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya membesar menatapku lekat – lekat,  menggambarkan ia seperti mendengar sesuatu yang luar biasa. Aku juga menganggap apa yang baru saja aku ceritakan pada Riko sebagai hal yang luar biasa, sih. Sampai detik ini, aku masih tidak dapat mengakui ini. Hubunganku dengan Citra sudah berakhir. Aku jadi ingat dulu, sewaktu aku menyatakan cinta pada Citra. Dunia terasa milik berdua. Tidak mau aku melepaskannya. Sekarang, sepertinya mudah bagiku untuk melakukannya.

“Iya, gue serius. Barusan gue bilang kalau gue mau putus. Citra sih nggak bilang apa – apa. Dia cuma diam sambil menahan air mata. Menurut lo gue kejam gak sih?” Aku masih tidak tega kalau membayangkan seperti apa respon Citra pada permintaanku itu.

“Kejam? Justru dia yang kejam udah khianatin lo!” Ujar Riko yakin.

“Tapi, gue nggak mau ngelakuin ini semata – mata sebagai pembalasan dendam gue sama Citra. Lo tahu kan, gue bukan pendendam?” Pertanyaan retoris kulontarkan pada Riko. Riko pasti paham maksudku.

“Iya gue tahu. Udah lah. Itu semua udah terjadi. Semakin lo ingat – ingat, akan semakin bikin lo bimbang. Lagian, gue yakin kok, lo udah bikin keputusan yang tepat!”

Mendadak, aku jadi percaya diri. Aku siap untuk langkah selanjutnya.
***
Sekarang atau nggak sama sekali. Aku terus mengucapkan kalimat itu berulang – ulang dalam hati. Meyakinkan diri sendiri, tindakanku ini sudah tepat. Dan, tentunya tidak akan pernah kusesali di kemudian hari.

Sebentar lagi Ujian Nasional, menandakan sebentar lagi masa putih abu – abu akan segera berakhir. Jika sudah berakhir, aku ingin menyimpan kenangan – kenangan indah. Bila nanti Elika menolak pernyataan cintaku, aku juga akan menganggapnya kenangan indah. Bagiku, nggak masalah jika nanti Elika menolak. Setidaknya, aku sudah mengungkapkan isi hatiku. Tidak ada lagi yang perlu aku tutupi. Hampir dua tahun bagiku untuk memastikan ini semua. Dua tahun satu kelas bersama Elika. Meskipun kami tidak pernah mengobrol panjang lebar, hanya sekadar basa – basi, aku selalu memperhatikannya. Gerak – geriknya. Tanpa aku sadari, sejak kelas dua aku mulai menyukainya. Ditambah lagi dengan kenyataan perselingkuhan Citra. Namun, aku baru memutuskannya sekarang. Harusnya sejak dulu. Tak apalah. Daripada tidak sama sekali.

Berdasarkan pengamatanku selama ini, Elika penggemar coklat. Semua jenis coklat ia sukai. Mendatangkan inspirasi bagiku untuk mengungkapkan perasaanku.

Ketika bel istirahat berbunyi, seluruh siswa meninggalkan kelas menuju Kantin. Tinggallah Elika seorang diri di kursinya. Membaca buku. Seperti kebiasaannya. Aku menghampiri kursinya. Mengetahui kedatanganku, Elika mengangkat pandangannya dari buku. Menyapaku singkat. Sebelum ia kembali terhanyut dalam dunianya, aku segera menaruh dua batang coklat yang dihias dengan pita merah muda di atas mejanya.

“Apa ini?” Kedua alisnya bertaut. Ia pasti mengira aku tidak punya kalender di rumah. Tak apa kan memberikan coklat dengan paper bag bertuliskan Valentine’s Day?

“Coklat. Untukmu.” Ujarku.

“Untukku? Dalam rangka apa?” Elika menatapnya lekat – lekat.

“Udah buka aja.” Jantungku semakin berdetak tak menentu begitu Elika membuat paper bag. Ia mengeluarkan dua batang coklat. Di dasar paper bag, ada sebuah amplop biru muda. Berisikan perasaanku yang tertuang dalam surat itu. Aku memang menginginkan Elika membacanya, tetapi tak bisa kuungkiri, aku gugup. Ini kedua kalinya aku menyatakan perasaan pada seorang perempuan. Entah mengapa, menimbulkan sensasi yang berbeda.

Elika membuka amplop itu...

Ia mengeluarkan surat itu...

Ia membacanya dan....

Hening selama beberapa detik. Elika bergeming. Masih memegang surat itu. Ia menatap kertas itu. Pandangannya kosong. Kemudian, ia berbalik memandangku. Tatapannya masih kosong.
Inilah yang membuatku terkejut setengah mati. Ia bangki berdiri dan memelukku erat. Lalu berbisik, “Aku juga mencintaimu.” Aku membalas pelukkannya.

Seakan kami berdua melayang. Terbawa suasana. Tenggelam dalam lautan emosi. Aku tak percaya ini. Elika selama ini juga memendam perasaan yang sama denganku. Tak henti – hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Nampaknya, ini adalah akhir dari kisahku. Terimakasih ya Tuhan.

Tiba – tiba, aku melihat Citra di ujung pintu kelas. Ia memergoki aku dan Elika berpelukkan. Ekspresinya wajahnya memerah karena menahan emosi. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal. Ia geram melihat pemandangan seperti ini.

Ia pasti berpikir karena Elika aku memutuskan hubunganku dengannya. Jawabannya memang iya. Tetapi itu bukan jawaban yang sebenarnya. Citra yang dulu pernah tinggal di hatiku, kini digantikan oleh Elika. Aku nyaman bersama Elika.

Citra pergi meninggalkanku dan Elika yang masih berpelukkan erat. Elika belum menyadari bahwa Citra mengawasi kami berdua.

 Di setiap tawa pasti ada kesedihan. Tawaku sekarang adalah Elika. Kesedihanku adalah Citra. Bagai air dan minyak, mereka amat sangat berbeda. Aku memilih Elika. Maafkan aku, Citra. Kamu harus paham, aku sudah menemukan penggantimu. Pengkhianatan meninggalkan luka bagiku. Kehadiran Elika, menyembuhkan luka itu.

Elika yang paling aku cinta. Elika yang paling aku mau. Elika akan selalu berada di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Selamanya di hidup ini, akan selalu seperti ini. Kesabaranku menunggu, telah membuahkan hasil. Lama sekali aku hidup dalam kepura – puraan. Bersandiwara mencintai Citra. Padahal, hati kecilku tahu yang sesungguhnya. Elika. Hanya Elika. Bukan lagi Citra. Sekarang dan seterusnya, aku lah kekasih Elika. Aku juga tahu, aku lah yang paling Elika cinta. Aku yang paling Elika mau. Namaku tertera di hati Elika yang terdalam.

Selamat tinggal Citra. Selamat datang Elika.


Selamat datang Cinta.

Jumat, 23 Januari 2015

Cinta Tanpa Syarat

Cinta. Satu kata sederhana. Tapi tidak sesederhana itu isinya. Mampu menghancurkan hubungan sepasang sahabat. Mampu membuat hati remuk. Mampu merubah tabiat seseorang.
           
Bahkan mampu membuat takut untuk mencinta lagi.
***
            Cuaca hari ini cukup bersahabat. Setelah beberapa hari lalu hujan mengguyur Jakarta, kini setidaknya ada istirahat sejenak. Ada waktu yang dapat kugunakan untuk menikmati semburat cahaya matahari. Aku bersyukur adanya hari secerah ini. Hari di mana tidak ada lagi hujan. Kalau boleh jujur, aku benci hujan.

            Hujan mengingatkanku akan peristiwa itu. Peristiwa yang mampu memporak – porandakan hidupku. 17 September 2011. Sebisa mungkin aku menghindari hujan. Itu berarti aku hanya memiliki matahari. Cuma ada dua pilihan.

            Sama seperti . . . take it or leave it. Tidak ada pilihan lain.

            Bagiku matahari itu adalah sumber kehidupan. Salah satu Mahakarya dari sang Pencipta. Matahari juga memancarkan kekuatan bagiku. Kekuatan untuk menghadapi perkara memilukan ini. Melawan konsekuensi atas pilihan yang terpaksa aku ambil.

Aku tidak pernah menginginkan pilihan tersebut. Tapi, aku ditakdirkan untuk memilih.

Siska!” Terdengar suara memanggil namaku. Kubuka pintu. Mendapati Nina di baliknya. 

“Hei! Ayo masuk.” Senang rasanya melihat dia.

Nina. Sahabatku dari kecil. Awalnya sebelum menjalin hubungan sebagai sepasang sahabat dengannya aku juga memiliki banyak teman baik. Namun, cuma ada satu sebagai yang terbaik. Aku tidak akan menceritakan kepada kalian mengapa akhirnya Nina yang menjadi sahabat baikku, karena bukan itulah intinya. Yang jelas ia ada di saat dukaku. Seperti berakhirnya hubunganku dengan Mario. Nina ada di sampingku untuk membuatku tetap tegar. Meski kepedihan yang kurasakan tidak berkurang sedikit pun.

Ka, gue dapet banyak info baru!” Seru Nina. Langsung aku sambut baik. Di otakku mulai menerka – nerka info seperti apa yang ia dapat.

Ketika berakhirnya masa SMP, aku dan Nina memilih sekolah yang berbeda. Nina mendapatkan sekolah negeri. Sedangkan aku swasta. Itu juga berarti aku berpisah sekolah dengan Mario. Walau kami sudah putus hubungan, tetapi aku masih sering mengamatinya dari jarak jauh. Masih ada rindu yang tersisa. Tidak mungkin aku melupakannya begitu saja. Terlalu banyak kenangan manis antara aku dan Mario. Tak tega aku membuangnya.

Beruntung bagiku. Nina mendapatkan sekolah yang sama dengan Mario. Apalagi Mario satu ektrakurikuler dengan Nina. Karate. Secara tidak langsung aku dapat mengetahui segala sesuatu yang terjadi dengan Mario. Dan juga menjadikan Nina sebagai mata – mataku. Terdengar jahat memang, tetapi seperti yang sebelumnya kuceritakan. Aku tidak memiliki pilihan lain. Aku teramat merindukannya.

“Info apa, Na?” Tanyaku. Senyum mengembang di wajahku.

Aku menangkap kegetiran di kedua mata Nina. Kedua sudut bibirnya yang  tadi terangkat, kini menghilang. Tatapan matanya juga berubah. Aku kenal ini. Pandangan yang mengasihaniku. Memprihatinkan.

Akan ada berita buruk yang kuterima.

“Lo yakin mau denger?” Nina memastikan. Aku semakin yakin. Apapun yang terjadi aku harus siap. Aku mengangguk mantap. Bersiap akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ok. Ada dua berita yang gue bawa. Pertama, Mario udah punya cewek baru.” Sesuatu menghantam kepalaku. Terasa pening. Seolah ada yang menyerap kehidupanku. Tidak menyisakan apa – apa lagi. Kedua mataku perih. Siap untuk tumpah ruah.

“Lo udah siap buat denger yang kedua, Ka?” Sepertinya berita kedua lebih menyakitkan. Yang pertama saja sudah hampir membuatku mati. “Gue siap.” Kataku berusaha tegar dan menutupi kegetiran di suaraku.

Mario ternyata punya penyakit di saluran pernapasannya. Umur dia udah nggak lama lagi.”

***
            Semuanya berhenti. Dunia berhenti berputar. Jam berhenti berdetak. Benar – benar sunyi. Sampai – sampai aku mampu mendengar suara tarikan napas kusendiri.

            Kalimat terakhir yang kudengar dari mulutnya masih berusaha kucerna. Perlahan, aku mulai paham. Sangat pahan. Terpancar jelas maksudnya dari ucapannya.

            Gue mau kita putus. Kalimat yang sederhana. Tapi sanggup menusuk jantungku.

            Kutatap dia. Kuamati baik – baik setiap lekukan wajahnya. Belum pernah aku melihatnya dari jarak sedekat ini. Sejak kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih sampai sekarang. Karena inilah kesempatan terakhirku untuk melihatnya. Melihat tatapan matanya yang menenangkan. Mendengar suaranya yang melegakan. Setelah waktu ini, tak ada lagi yang tersisa untukku.

            Pada awalnya aku sudah menduga ada yang tidak beres. Gelagatnya yang mencurigakan. Ia yang mengajakku untuk bertemu tanpa alasan yang jelas. Namun, aku mengikuti kemauannya. Mungkin jika aku tidak datang malam ini, hubungan kami tidak akan berakhir. Atau mungkin akan tetap berakhir tetapi dengan cara yang berbeda?

            “Maafin gue, Sis.” Ekspresinya wajahnya benar – benar berbeda dari biasa. Baru sekali ini aku mendapati raut wajahnya seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

            “Tapi kenapa?” Tanyaku. Berusaha menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Kedua mataku terasa perih. Ya Tuhan! Jeritku dalam hati. Aku teramat mencintainya.

            Mario cuma diam. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak berani menatapku. Seperti ada yang ia sembunyikan. Kemudian ia berlalu pergi. Aku memandangi punggunggnya yang menjauh. Sampai siluet tubuhnya hilang di keramaian. Meninggalkanku sendiri di kafe ini.

            Aku ingat tempat ini. Tempat inilah di mana kami berdua mengikatkan diri dengan sebutan kekasih. Di tempat ini pula hubungan kami berakhir. Berawal dan berakhir di tempat yang sama. Tetapi lebih menyakitkan ketika ini semua berakhir.

            Entah mengapa setelah mendengar pernyataan Nina, sulit bagiku untuk meneteskan air mata. Padahal aku sangat terpukul. Mengetahui dengan mudahnya Mario melupakanku. Mencari penggantiku di hatinya. Dan yang terakhir. Penyakit yang selama ini di deritanya. Tanpa kuketahui.
            Jika nanti Mario benar – benar pergi, aku tidak ada di sampingnya. Yang ada malahan... “Siapa namanya?”

            “Anisza.” Jawab Nina. “Dia juga ikut ekskul Karate.” Tambahnya.

            Ya. Anisza mungkin yang akan berada di samping Mario nanti. Aku cemburu. Tak bisa kugapai dia. Aku masih mencintainya.

            Akan tetapi aku harus tetap berada di dekatnya. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak ingin menyesalinya.

            Aku akan pindah sekolah.
***

“Tapi kenapa, De? Dulu bukannya kamu ngotot mau sekolah di Al – Huda?” Tanya Mamaku begitu mengetahui niatku untuk pindah.

“Kalau di negeri gampang masuk PTN, Ma. Lagian kan sekarang sekolah negeri udah gratis.”

“Heran. Kok tumben – tumbennya kamu mikirin kuliah.” Jawab Mamaku. Rupanya Mama mencium bau yang ditutupi. Semoga saja berhasil.

“Al – Huda juga udah nggak bagus kok, Ma. Beda sama zamannya Kak Vivi dulu.” Kalau yang ini benar. Kak Vivi, kakak perempuanku yang dulu sekolah di Al – Huda. Kualitasnya memang menurun. Jadi setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong.

“Nanti Mama ngomongin sama Papa ya, De.” Syukurlah. Meskipun belum pasti, ini adalah berita bagus.

Ternyata Tuhan mendengar doaku. Papa mengizinkanku untuk pindah sekolah. Alasanku yang kuat membuat orangtuaku menyetujuinya.

Pada tahun 2012, semester dua, aku pindah sekolah. Kini, aku satu sekolah dengan Nina dan Mario. Juga Anisza. Aku benci mengakuinya.

            Aku berharap dengan kepindahanku ke sini dapat memperbaiki hubunganku dengan Mario. Bukannya aku mau merebut Mario kembali, hanya saja aku dan Mario dapat menjadi sepasang sahabat. Walau aku ingin meminta lebih.

            Sayangnya, semua itu tidak seperti yang aku harapkan.
***
Tiga bulan kemudian....                        

            Banyak yang mengatakan padaku usaiku terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan. Tugasku sekarang adalah belajar. Belum saatnya untuk mencinta. Cinta yang aku rasa cuma cinta monyet. Terserah orang mau bilang apa. Yang jelas, aku dapat membedakan antara suka dan cinta.

            Seperti yang aku alami dengan Mario. Aku kenal diriku. Benar mengetahui apa yang kuketahui. Terlebih apa yang kurasakan. Aku mencintainya. Bukan menyukainya. Terserah mereka jika mereka mengatakan aku masih kecil. Atau mengatakan aku tidak tahu apa itu cinta.

            Aku yakin. Aku mencintai Mario. Bukan menyukainya.

            Cinta juga membutuhkan perjuangan. Bukan hanya pernyataan. Pernyataan bisa saja berbohong, tetapi perjuangan tidak pernah berbohong.

            Aku rela pindah sekolah. Hal yang paling aku tidak suka, karena itu berarti aku harus beradaptasi lagi. Tetapi aku melakukannya demi Mario. Demi menyelamatkan hubungan kami. Membuat sebuah ikatan dengan sebutan sahabat.

            Mungkin sekarang aku merutuki keputusanku beberapa bulan lalu. Menyesali apa yang sudah kuminta pada orangtuaku. Kalau bisa, aku ingin kembali ke sekolah lamaku. Aku tahu, hal tersebut tidak akan pernah bisa terjadi lagi. Sekarang aku harus menerima konsekuensinya.

            Ini lebih buruk dari masa setelah hubungan kami berdua berakhir. Kalau dulu Mario masih suka menyapaku, sekarang menatap saja tidak sudi. Seolah ia jijik denganku. Ia seperti menghindar dariku.

            Aku belajar di kelas X – 6. Anisza berada di kelas X – 7. Mario berada di kelas X – 2. Itu berarti jika Mario ingin menemui Anisza, ia akan melewati kelasku dulu. Dan hal itu selalu terjadi setiap hari. Aku hanya bisa menahan air mata setiap kali melihat mereka berdua bercengkrama.

Tidak ada yang dapat aku lakukan. Sia – sia kepindahanku ke sini.

Bahkan, aku cuma membuatnya tambah berantakan.

Nina pernah memberi tahuku. Ia mendapat berita tersebut dari beberapa sumber kalau Anisza membenciku. Semenjak kepindahanku kemari, Anisza telah membenciku. Seakan tidak mau melihat keberadaanku di sekolah ini.

Entahlah. Aku sendiri juga bingung. Aku tidak pernah berbicara sepatah kata dengannya. Kalau berpapasan di jalan, ia selalu membuang muka. Nina juga pernah bilang, kalau mulut Anisza memang jahat. Di klub saja ia dibenci. Aku sempat berspekulasi, apa iya Mario menjadi sedingin ini padaku gara – gara Anisza menghasutnya?

Aku terlalu takut untuk mengira – ngira. Juga tidak berani asal tuduh. Selama ini, aku selalu bertanya – tanya. Mengapa Anisza membenciku keberadaanku di samping kelasnya? Apa karena ia takut akan merebut Mario kembali? Aku memang masih mencintai Mario, tetapi aku bukan perempuan perebut. Aku juga memikirkan perasaan Anisza jika aku melakukan hal tersebut.

Kebalikannya, Anisza tidak pernah memikirkan perasaanku. Dengan gamblangnya ia tertawa dengan Mario di depan mataku. Menggenggam tangannya. Melakukan hal semacam itu di hadapanku. Seolah ingin membuatku cemburu. Anisza juga membicarakanku di X – 7 bersama kawan – kawannya. Menjadikanku sebagai bahan gosip. Aku tidak tahu apa yang Anisza bicarakan tentangku, yang jelas sebagian besar para penghuni X – 7 seperti memandangku dengan tatapan merendah. Tatapan menghakimi seolah – olah aku adalah manusia yang paling bersalah. Mungkin saja Anisza mengatakan kalau aku ini perempuan penggoda? Suka – suka dia ingin berbicara apa. Aku tidak perduli.

Sampai detik ini, aku masih mencintai Mario. Selalu menyebut namanya di setiap doaku. Selalu berharap yang terbaik untuknya.

Aku ingin sekali move on. Melanjutkan hidupku yang masih panjang. Melupakan kenangan – kenangan pahit yang pernah menimpaku. Tak tahu mengapa, aku tidak mampu mengusir Mario dari lubuk hatiku yang terdalam. Padahal, ia sudah melakukannya terlebih dahulu.

Hari – hari berikutnya terasa lebih berat. Air mata yang aku tahan setiap kali melihat mereka berdua. Seolah – olah dunia ini milik mereka. Aku berdoa pada Tuhan semoga di saat terakhir Mario tutup mata, ada Anisza yang menemani. Bukan aku.

Yang terakhir ada sebuah pertanyaan yang selalu terngiang – ngiang di kepalaku. Belakangan aku tahu. Ini bukan pertanyaan. Melainkan sebuah pernyataan yang menari – nari di kepalaku. Mengingatkanku selalu.

Mengapa aku tidak bisa melupakanmu, jika kau tidak pernah melirikku sedikitpun?

Satu jawabannya.

Karena cinta.

Aku memang tidak bisa menggapai Mario. Mengharapkannya pulang juga tidak mungkin. Walau begitu aku terus berharap. Harapan yang ada memang tipis. Namun, tidak ada salahnya berharap.

Cintaku yang teramat besar tidak dapat kau balas. Tak mengapa. Aku melakukan semua itu, karena cinta.

Cinta yang tulus tanpa pamrih.

Cinta tanpa syarat.