Sudah hampir
tiga tahun aku mengenalnya. Sejak mengenakan seragam putih abu – abu. Aku ingat
betul. Pagi itu, di depan gerbang sekolah
kami berdua sama – sama terlambat di hari pertama kali MOS. Hukuman berupa push – up dari senior sok berkuasa itu
kami terima. Melakukan dalam diam. Namun, dalam hati aku mengumpat.
Setelah
itu, kami tidak pernah lagi berbicara. Kalau berpapasan pun, biasa saja. Di
kelas X kami berbeda kelas. Aku kelas X – 6 dan dia kelas X – 2. Membuat jarak
di antara kami semakin terbentang luas. Lalu, ketika mulai penjurusan aku dan
Elika mendapat jurusan yang sama. Jurusan yang kami mau. Tadinya aku pikir kami
akan berbeda kelas lagi, nyatanya kelas yang sama. XI IPA 3.
Di situlah
semuanya dimulai.
Aku
tidak tahu dari mana semua
ini bermula. Apakah sejak awal
menginjakkan kaki di SMA Minerva kah? Atau,
semenjak kami satu kelas? Perutku terasa mual tiap kali melihatnya. Seperti ada
jutaan kupu – kupu bertebangan di dalam sana. Detak jantungku juga tidak karuan
tiap kali melihatnya. Tubuhku menghangat. Kenapa ya? Akhirnya, aku menyimpulkan
aku telah jatuh cinta pada Elika.
Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat atau tidak.
Apakah ini cinta sungguhan apa cinta monyet pun aku tidak mengerti. Yang aku
tahu, ini adalah sesuatu yang berbeda. Tidak sama dengan apa yang aku dan Citra
lalui.
Kau
ingin bilang aku laki – laki berengsek? Silahkan. Itu kenyataan. Jatuh cinta
kepada perempuan lain di saat aku telah memiliki kekasih. Bukannya aku ingin
mengkhianati Citra, hanya saja aku tidak bisa berbohong. Tidak dapat berpura –
pura. Aku pernah mencintai Citra. Menyayanginya sebagaimana layaknya sepasang
kekasih.
Seiring
berjalannya waktu, perasaanku padanya mulai berubah. Semenjak aku memergokinya
selingkuh bersama Adit. Sahabatku sendiri. Ya, semenjak itu perasaanku mulai
berubah. Aku memang sudah memaafkan Citra. Sudah berjanji pada Citra untuk
memulai semua ini dari awal lagi. Tetap saja aku merasa ada yang janggal.
Semuanya
tidak pernah akan menjadi sama lagi seperti dulu. Ada yang berbeda, mengganjal.
Dan itu bukan salahku.
Cintaku pada
Citra perlahan mulai runtuh. Namanya yang sempat tertera di lubuk hatiku, kini
telah pudar. Digantikan dengan nama lain. Elika. Ah, tapi bagaimana aku
memulainya?
Percakapan di
antara aku dan Elika tidak lebih dari sekedar basa – basi. Aku dengannya tidak
pernah dekat. Hanya sebatas teman sekelas. Sukar rasanya jika Elika juga
mencintaiku. Sebaiknya aku pendam perasaan ini rapat – rapat.
***
“Hai sayang.
Selamat ya, lagi – lagi jadi juara kelas.” Citra menyelamatiku. Kedua lengannya
yang mulus terlingkar di leherku. Dulu, setiap kali kami bersentuhan, selalu
menimbulkan sengatan yang amat kuat. Gelombang
itu sampai ke otak, kemudian otakku memerintahku untuk mengecup pipinya. Masa –
masa itu sepertinya indah sekali. Tapi,
itu dulu.
“Bagaimana kalo
kita ke Pak Deny? Buat ngerayain keberhasilan
kamu. Udah lama juga kita nggak ke sana. Mau yah?” Ajak Citra. Rumah makan Pak Deny merupakan
salah satu tempat favorit kami. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Setiap akhir
pekan aku dan Citra pasti pergi ke sana. Menikmati waktu yang ada. Berdua saja.
Tapi, itu dulu. Semenjak
perselingkuhan itu terkuak, kami jarang lagi pergi ke sana berdua. Bukannya
tidak ada waktu, hanya saja aku yang enggan melakukannya lagi. Semenjak
perselingkuhan itu pula, aku jadi lebih sering berbohong. Setiap kali Citra
mengajakku, selalu saja ada alasan yang aku buat untuk menghindar darinya.
Seperti sekarang.
“Maaf sayang.
Hari ini aku mau nemenin mama aku belanja. Gak apa – apa ya?”
Kedua mata Citra
menyipit. Kedua alisnya bertaut. Seakan mencium sesuatu kebohongan. “Belanja?
Sejak kapan? Bukannya setiap mama kamu belanja, kamu nggak pernah mau ikut ya?”
Sepandai – pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Peribahasa yang cocok
untukku. Sepandai – pandainya Rengga berbohong pasti ketahuan juga.
“Tapi, kali ini
mama maksa. Soalnya papa nggak bisa anterin mama.” Syukurlah ada alasan yang
tepat. Tidak terlalu membuat Citra curiga. Lagi pula, aku tidak sepenuhnya
bohong, kok. Papa memang sedang dinas di luar kota.
Dulu, aku selalu
tidak tega untuk membohongi
Citra. Mendustai perempuan yang aku cintai. Untuk menolak ajakkanya pun aku
tidak pernah. Aku selalu mengangguk setuju. Sekarang? Mudah sekali untuk
melakukannya. Apa karena sudah tidak ada cinta yang tersisa untuk Citra?
Kalau memang benar sudah tidak ada cinta lagi, secepat mungkin
harus kuakhiri. Aku tak ingin
menyakiti orang banyak.
***
“Saran gue sih,
sebaiknya lo putusin aja si Citra.” Riko memberi masukkan. Aku sudah
menceritakan persoalanku pada Riko. Meminta pendapat pada sahabatku yang satu
ini. Tidak mungkin kan aku meminta pendapat pada Adit?
“Gue juga maunya
gitu. Tapi,
gue nggak mau bikin Citra histeris. Lagian, aneh kan kalo secara tiba – tiba
gue mutusin di tanpa alasan yang jelas? Akhir – akhir ini, dia juga baik banget
sama gue. Gue nggak tega, Ko.”
“Rengga, coba
deh lo mikir. Kalau lo bohongin diri lo sendiri dan Citra, lo jalanin hubungan
lo tanpa ada perasaan, apa itu namanya lo nggak nyakitin Citra?” Kata – kata
Riko barusan mulai aku serap perlahan – lahan. Mencoba mengerti apa maksudnya.
Aku mulai paham. Tetapi,
masih ada yang mengganjal. “Dan,
gue tahu lo. Perasaan lo mulai berubah kan semenjak Citra selingkuh sama Adit?”
Ah, aku ingat itu. Di saat aku memergoki Adit dan Citra di belakang sekolah.
Memori akan hari itu kembali terngiang jelas di otakku. Bagaikan film. Sakit
akan dikhianati kembali kurasakan. Sejak hari itu, bukan hanya perasaanku saja
yang berubah, tetapi juga persahabatan antara aku dan Adit. Adit perlahan –
lahan mulai menjauhiku dan Riko. Seakan merasa dirinya tidak
layak.
“Iya. Gue akui
itu. Tapi,
gue nggak siap kalau harus lihat Citra tersakiti.”
“Apakah Citra
pernah mikirin perasaan lo sewaktu dia selingkuh sama Adit? Nggak kan? Terus lo
mau sampai kapan kayak gini? Suatu saat ini pasti berakhir. Dan, jangan sampai ini
semua berakhir, tetapi lo menyesalinya.” Riko kemudian pergi setelah menepuk
pundakku. Siluet tubuhnya berlalu, tetapi perkataannya masih terus terlintas di
benakku. Perlahan, aku mulai paham maksudnya.
Aku siap.
***
Kedua
bola
mata di depanku sedang menatapku lekat – lekat. Mata yang selalu ingin kulihat.
Selalu mendatangkan keresahan bagiku. Tapi,
itu dulu. Sekarang juga masih membuatku gelisah bukan main. Bukan karena cinta.
Cinta saja sudah hilang. Melainkan aku yang merasa bersalah. Aku mencoba
mengingat perkataan Riko. Ucapannya beberapa waktu lalu dapat menjadi alasanku
berada di situasi seperti ini.
“Jadi, apa yang
ingin kamu bicarakan?” Tanya Citra seperti mengintrogasi. Tatapannya
menyelidik. Penuh curiga.
Matanya seakan mengunci mataku. Malam –
malam aku datang ke rumahnya. Padahal, tadi siang aku mengatakan kalau mesti
pergi bersama mama. Wajar Citra semakin curiga padaku.
Kedua
matanya semakin menyipit tajam. Tak bisa lagi melirik
kemanapun. Aku benci situasi ini. “Honey?”
Aku tersadar dari lamunan. Citra sepertinya mulai menyadari ada sesuatu yang
aku sembunyikan darinya.
“Citra. Aku ingin
kita putus. Aku udah nggak ada rasa apa – apa lagi sama kamu. Semenjak
perselingkuhan itu, aku merasa hubungan kita memang seharusnya berakhir.”
Kalimat barusan keluar dari mulutku. Begitu cepat. Walau cepat, aku tetap
berusaha agar suaraku terdengar jelas. Tak ingin aku mengulanginya. Tadi saja
sudah terasa sulit bagiku untuk bersuara. Aku juga tak mau melihat ke arahnya.
Takut melihat seperti apa reaksinya.
“Tapi? Argh!”
Mata Citra mulai berkaca – kaca. Memerah. Aku bisa melihat ada kesedihan yang
ia tahan. Bersusah payah agar air matanya tidak turun membasahi pipinya. Sia –
sia saja. Toh pada akhirnya ia menangis. Aku kira ia akan menentang
keputusanku. Di luar dugaanku, ia pergi dari hadapanku sambil berdecak kesal.
Langkah kakinya yang terburu – buru, membuat ia semakin cepat menghilang dari
jangkauan penglihatanku. Kepergiannya menyisakan sesuatu. Di satu sisi, aku
merasa sesuatu ini berupa penyesalanku berbuat demikian. Di sisi yang lain,
sesuatu ini berupa kelegaanku keluar dari kepura – puraan selama ini.
***
“Serius lo?”
Riko masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya membesar
menatapku lekat – lekat, menggambarkan
ia seperti mendengar sesuatu yang luar biasa. Aku juga menganggap apa yang baru
saja aku ceritakan pada Riko sebagai hal yang luar biasa, sih. Sampai detik
ini, aku masih tidak dapat mengakui ini. Hubunganku dengan Citra sudah
berakhir. Aku jadi ingat dulu, sewaktu aku menyatakan cinta pada Citra. Dunia
terasa milik berdua. Tidak mau aku melepaskannya. Sekarang, sepertinya mudah
bagiku untuk melakukannya.
“Iya, gue
serius. Barusan gue bilang kalau gue mau putus. Citra sih nggak bilang apa –
apa. Dia cuma diam sambil menahan air mata. Menurut lo gue kejam gak sih?” Aku
masih tidak tega kalau
membayangkan seperti apa respon Citra pada permintaanku itu.
“Kejam? Justru
dia yang kejam udah khianatin lo!” Ujar Riko yakin.
“Tapi, gue nggak mau
ngelakuin ini semata – mata sebagai pembalasan dendam gue sama Citra. Lo tahu
kan, gue bukan pendendam?” Pertanyaan retoris kulontarkan pada Riko. Riko pasti
paham maksudku.
“Iya gue tahu.
Udah lah. Itu semua udah terjadi. Semakin lo ingat – ingat, akan semakin bikin
lo bimbang. Lagian, gue yakin kok, lo udah bikin keputusan yang tepat!”
Mendadak, aku
jadi percaya diri. Aku siap untuk langkah selanjutnya.
***
Sekarang
atau nggak sama sekali. Aku terus mengucapkan
kalimat itu berulang – ulang dalam hati. Meyakinkan diri sendiri, tindakanku
ini sudah tepat. Dan,
tentunya tidak akan pernah kusesali di kemudian hari.
Sebentar lagi
Ujian Nasional, menandakan sebentar lagi masa putih abu – abu akan segera
berakhir. Jika sudah berakhir, aku ingin menyimpan kenangan – kenangan indah.
Bila nanti Elika menolak pernyataan cintaku, aku juga akan menganggapnya
kenangan indah. Bagiku, nggak masalah jika nanti Elika menolak. Setidaknya, aku
sudah mengungkapkan isi hatiku. Tidak ada lagi yang perlu aku tutupi. Hampir
dua tahun bagiku untuk memastikan ini semua. Dua tahun satu kelas bersama
Elika. Meskipun kami tidak pernah mengobrol panjang lebar, hanya sekadar basa –
basi, aku selalu memperhatikannya. Gerak – geriknya. Tanpa aku sadari, sejak
kelas dua aku mulai menyukainya. Ditambah lagi dengan kenyataan perselingkuhan Citra.
Namun, aku baru memutuskannya sekarang. Harusnya sejak dulu. Tak apalah. Daripada
tidak sama sekali.
Berdasarkan
pengamatanku selama ini, Elika penggemar coklat. Semua jenis coklat ia sukai.
Mendatangkan inspirasi bagiku untuk mengungkapkan
perasaanku.
Ketika bel
istirahat berbunyi, seluruh siswa meninggalkan kelas menuju Kantin. Tinggallah
Elika seorang diri di kursinya. Membaca buku. Seperti kebiasaannya. Aku
menghampiri kursinya. Mengetahui kedatanganku, Elika mengangkat pandangannya
dari buku. Menyapaku singkat. Sebelum ia kembali terhanyut dalam dunianya, aku
segera menaruh dua batang coklat yang dihias dengan pita merah muda di atas
mejanya.
“Apa ini?” Kedua
alisnya bertaut. Ia pasti mengira aku tidak punya kalender di rumah. Tak apa
kan memberikan coklat dengan paper bag
bertuliskan Valentine’s Day?
“Coklat.
Untukmu.” Ujarku.
“Untukku? Dalam
rangka apa?” Elika menatapnya lekat –
lekat.
“Udah buka aja.”
Jantungku semakin berdetak tak menentu begitu Elika membuat paper bag. Ia mengeluarkan dua batang
coklat. Di dasar paper bag, ada
sebuah amplop biru muda. Berisikan perasaanku yang tertuang dalam surat itu.
Aku memang menginginkan Elika membacanya, tetapi tak bisa kuungkiri, aku gugup.
Ini kedua kalinya aku menyatakan perasaan pada seorang perempuan. Entah
mengapa, menimbulkan sensasi
yang berbeda.
Elika membuka
amplop itu...
Ia mengeluarkan
surat itu...
Ia membacanya
dan....
Hening selama
beberapa detik. Elika bergeming. Masih memegang surat itu. Ia menatap kertas
itu. Pandangannya kosong. Kemudian, ia berbalik memandangku. Tatapannya masih
kosong.
Inilah yang
membuatku terkejut setengah mati. Ia bangki berdiri dan memelukku erat. Lalu
berbisik, “Aku juga mencintaimu.” Aku membalas pelukkannya.
Seakan kami
berdua melayang. Terbawa suasana. Tenggelam dalam lautan emosi. Aku tak percaya
ini. Elika selama ini juga memendam perasaan yang sama denganku. Tak henti –
hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Nampaknya, ini adalah akhir dari
kisahku. Terimakasih ya Tuhan.
Tiba – tiba, aku
melihat Citra di ujung pintu kelas. Ia memergoki aku dan Elika berpelukkan.
Ekspresinya wajahnya memerah karena menahan emosi. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya
mengepal. Ia geram melihat pemandangan seperti ini.
Ia pasti
berpikir karena Elika aku memutuskan hubunganku dengannya. Jawabannya memang
iya. Tetapi itu bukan jawaban yang sebenarnya. Citra yang dulu pernah tinggal
di hatiku, kini digantikan oleh Elika. Aku nyaman bersama Elika.
Citra pergi
meninggalkanku dan Elika yang masih berpelukkan erat. Elika belum menyadari
bahwa Citra mengawasi kami berdua.
Di setiap tawa pasti ada kesedihan. Tawaku
sekarang adalah Elika. Kesedihanku adalah Citra. Bagai air dan minyak, mereka
amat sangat berbeda. Aku memilih Elika. Maafkan aku, Citra. Kamu harus paham,
aku sudah menemukan penggantimu. Pengkhianatan meninggalkan luka bagiku.
Kehadiran Elika, menyembuhkan luka itu.
Elika yang
paling aku cinta. Elika yang paling aku mau. Elika akan selalu berada di dalam
lubuk hatiku yang paling dalam. Selamanya di hidup ini, akan selalu seperti
ini. Kesabaranku menunggu, telah membuahkan hasil. Lama sekali aku hidup dalam
kepura – puraan. Bersandiwara mencintai Citra. Padahal, hati kecilku tahu yang
sesungguhnya. Elika. Hanya Elika. Bukan lagi Citra. Sekarang dan seterusnya,
aku lah kekasih Elika. Aku juga tahu, aku lah yang paling Elika cinta. Aku yang
paling Elika mau. Namaku tertera di hati Elika yang terdalam.
Selamat tinggal
Citra. Selamat datang Elika.
Selamat datang
Cinta.