Sampai sekarang aku
tidak menyangka! Terlintas dalam benakku juga tidak.
Kita cuma sahabat. Tak
lebih dari itu. Dari dulu kita selalu sama – sama. Saling cerita satu – sama
lain. Tapi,
kok.... jadi begini? Lebih tepatnya kau
yang membuatnya jadi begini. Bukan aku. Seharusnya kau bisa membuang rasa itu
jauh – jauh. Mengendalikannya. Bukannya menyangkutpautkan dengan permainan
bodoh ini.
Aku langsung saja keluar dari kamar Selena
dan pulang. Bukannya apa – apa. Aku
hanya kaget aja. Sesuatu yang tadinya aku pikir sangat tidak mungkin, sekarang jadi
mungkin.
Aku
tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, tidak pernah mengharapkannya.
Sangat menjaga hal semacam ini tidak terjadi di antara persahabatan kami.
Kau
tidak tahu apa? Apa kau lupa? Seratus persen aku yakin kau tidak akan
lupa. Dulu aku sering menceritakan ini semua denganmu. Bahkan, kau dan Selena
turut memberi masukan padaku. Seingatku dulu, saran yang kau berikan sangat
bagus dan bermanfaat.
Seorang
lelaki sudah ada di dalam lubuk hatiku. Aku sudah memiliki seorang kekasih. Di
hatiku sudah ada Reynald. Sudah
tidak ada tempat kosong
lagi. Bahkan, jika hatiku memang belum terisi, aku tidak akan mengijinkan kau menempatinya. Kau hanya sahabatku. Tidak
lebih dari itu. Iya, aku jujur. Aku memang menyayangimu. Namun, hanya sebatas
sahabat. Tidak lebih dari itu. Kita selalu bareng – bareng dari dulu. Berbagi
suka maupun duka. Aku tidak
mau hanya gara – gara permainan bodoh ini semuanya jadi berubah.
Aku jadi ingat
dulu. Saat kau
diganggu oleh Bill and the gank. Aku langsung datang dan menghajar
mukanya yang penuh dengan lemak itu. Aku juga jadi ingat lagi. Saat aku sedang patah hati dengan first love-ku. Kau bantu aku untuk bangkit. Hidup terus
berjalan. Putus dari lelaki
bukan berarti akhir dari segalanya, kan?
Termasuk penolakkan dariku juga, kan? Iya, kan?
Aku cuma diam di
sini. Memandang malam dari balkon rumah.
Tidak tahu harus marah atau apa. Aku hanya
bingung. Bingung dengan kenyataan ini. Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan mengiyakan ajakan
Selena untuk bermain Truth or Dare.
Kenapa sih kau mesti menyukaiku?
Banyak perempuan
lain yang lebih baik dan cantik dari aku. Apa kau tidak
tahu kalau selama ini ada yang mencintaimu?
Selena.
Selama ini dia
mencintaimu, Za. Aku bisa lihat dari matanya. Betapa kecewanya dia ketika
mendengar orang yang paling kau
cintai adalah aku. Jauh di dalam hati kecilnya, aku tahu. Selena sengaja
mengadakan permainan ini untuk mengetahui perasaanmu padanya. Sayangnya, kau tidak bisa membalas perasaannya. Selena lebih baik dari
aku, Za. Ia lebih cantik, tinggi, ideal, feminim. Sedangkan aku? Aku jauh dari
kata perempuan sempurna.
Aku tahu kau pasti bisa. Bisa untuk
menyadari satu hal. Apa yang kau
rasakan ke aku, bukan cinta. Hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat. Aku
menganggap kau
bagai kakak laki – laki aku. Mendiang Reno. Semenjak kematian Reno, kau selalu ada untukku.
Kau
harus menyadari itu. Sebelum semuanya berubah.
***
Dalam satu hari,
persahabatan yang telah
kami berdua bangun kini berubah seratus delapan puluh derajat. Segala sesuatu
yang biasanya kami lakukan berdua, sekarang kami lakukan sendiri – sendiri.
Berangkat sekolah
sendiri, pulang sendiri, mengerjakan
pr sendiri. Miris rasanya
melihat ini semua.
Sudah seminggu
lebih persahabatanku dengan Reza mulai hancur. Tidak. Sudah hancur berantakkan. Dulu, mudah
bagiku untuk bertemu dengan Reza. Semudah membalikkan telapak tangan. Sejak
pengakuan itu, seperti ada tembok yang amat sangat besar yang membatasi kami
berdua. Bagai langit dan bumi. Seakan, Reza sulit kuraih.
Kalau boleh
jujur, selama satu minggu ini, tak ada yang aku perbuat. Berusaha untuk
menghubungi Reza juga tidak.
Bisa dibilang, aku gengsi. Walau demikian, aku jujur, aku merindukan Reza.
Merindukan tawanya. Merindukan kehadirannya.
Reza memang
masih hidup. Akan tetapi, aku merasa ia sudah pergi. Jarang aku melihatnya di sekolah.
Kemungkinan besar, ia menghindar kontak mata denganku. Pernah kami berpapasan.
Aku berusaha keras untuk tidak menatap kedua matanya, anehnya mataku seperti
memiliki otak sendiri. Di saat aku meliriknya, ia malah pura – pura tidak
melihatku. Kecewa besar hari itu. Apa boleh buat.
Aku juga jadi
sering merasa aneh sendiri. Sudah aku yakinkan pada diriku sendiri. Aku dan
Reza tidak ada apa – apa. Tak ada perasaan khusus.
Namun, aku selalu memikirkannya. Seperti hari ini. Ketika aku sedang makan
berdua dengan Reynald, Reza masuk dalam benakku. Membuatku melamun sesaat.
Reynald pun curiga. Untunglah aku segera mengajaknya menonton film horor. Genre
film favoritnya. Mengalihkan perhatian Reynald sejenak dan melupakan
kecerobohanku.
Ya Tuhan.
Seandainya saja dapat kuulang dari awal.
***
Kedua mata Selena
menatapku tak percaya. Selena masih tidak mempercayai apa yang barusan aku
katakan. Aku sendiri juga masih heran.
“Serius? Hebat
juga ya Reynald. Bikin kamu mau nonton film setan. Gue aja setengah mati ngajak
lo buat nonton Insidious.” Ujar Selena
dengan senyum lebar masih tak percaya.
“Gue sebenarnya
nggak mau. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Gue gak mau Reynald sampai tahu hal
ini.” Jelasku dengan singkat. Sesaat kemudian aku menyesali perkataanku.
Karena, sebentar lagi pembicaraan ini akan mengarah ke sana.
“Hal apa?” Dahi Selena
berkerut. Matanya menuntut penjelasan lebih dariku. “Bukan apa – apa kok”
Kataku seraya mengganti topik pembicaraan. Selena masih diam menatapku. Tak
menggubris ucapanku yang membahas gosip terbaru di sekolah.
“Vita. Gue mau
lo jujur. Hal apa? Nggak biasanya loh lo kayak gini ini. Tiba – tiba mau nonton
film setan. Gue tahu lo, Vit” Pertanyaan Selena barusan seperti menodongku
dengan pisau. Matanya menatap tajam ke arahku. Yang aku lakukan hanya
menundukkan kepala. Tak berani menatap matanya yang mengintimidasi. Ini menjadi
serius.
“Vita. Gue siap denger
cerita lo. Apapun itu.” Selena sudah tahu rupanya kemana arah pembicaraan ini. Pastinya juga
Selena sudah tahu perang dingin di antara aku dan Reza. Mau
tak mau aku menceritakan semuanya. Semuanya secara jelas. Tidak ada yang
ditambahkan atau dikurangi. Suaraku terdengar lirih. Tanpa kusadari, air mataku
menumpuk di pelupuk mataku. Perlahan, mulai turun ke bawah dan membasahi
pipiku. Suaraku yang sedang bercerita terdengar serak. Tangisanku pun tak dapat
terbendung lagi. Aku menangis sepuasnya. Bahuku bergoncang. Rasanya aku sedang
menanggung beban yang amat sangat berat. Persahabatan yang susah payah kami
bangun berdua sudah akan hancur di depan mata. Dan, aku tidak dapat berbuat
apapun untuk mencegahnya. Hanya dapat menyaksikan menara yang telah aku dan
Reza bangun berdua mulai tumbang.
Persahabatanku
dengan Reza akan hancur hanya karena cinta. Hanya karena permainan konyol itu. Truth or Dare. Fuck!
Selena yang
mengetahui apa yang sedang aku rasakan, meraih tanganku dan memelukku. Pelukkan
yang erat dan melindungi. Ia memang sahabat yang baik. Datang ke dalam
kehidupan kami berdua. Awalnya, aku dan Reza menyambut Selena sebagai sahabat
baru kami. Dulu kami berdua, sekarang kami bertiga. Dan sebentar lagi, Reza
pergi meninggalkan kita. Malahan sudah
mulai menjauh.
Mengingat semua
itu, air mataku keluar tiada henti. Semakin memanas. Perih rasanya. Momen –
momen bahagiaku dengan Reza sejak dulu kini bagai sebuah film. Terputar dengan
jelas. Seperti apa senyum Reza sewaktu ia tahu aku satu SMA dengannya. Seperti
apa kebahagiaan yang Reza rasakan ketika aku memberinya kejutan pada ulang
tahunnya yang ke enam belas. Yang paling penting, tergambar dengan jelas sewaktu
dulu kami bermain bersama.
Itu amat sangat
menyakitkan. Menusuk tepat di jantungku. Membuat semuanya berhenti. Sulit
bagiku untuk bernapas. Seluruh oksigen seperti menghilang begitu saja dari
permukaan bumi. Mentertawakan kepedihan yang aku rasakan. Tubuhku terasa lemas.
Sulit untuk berdiri.
“Vita...” Kata Selena
dengan lembut sambil melepaskan pelukannya. Aku dapat melihat seulas senyum di
wajahnya. Heran. Bisa – bisanya ia tegar. Padahal cintanya bertepuk sebelah
tangan.
“Udah ya. Lo
tenang dulu. Sebenarnya...” Selena menarik satu tarikan nafas panjang sebelum
melanjutkan ucapannya. Berat pastinya untuk menuturkan ini semua. “Gue sudah
menduga sejak gue masuk ke sini. Dan, kalian sudah bersahabat sebelumnya. Dari
cara Reza memperlakukan lo beda banget sama cara dia memperlakukan perempuan
lain. Termasuk gue.”
Aku semakin
tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lo salah, Sel. Reza juga sayang
sama lo. Di dalam hidupnya hanya ada dua orang perempuan spesial. Gue dan lo.
Kita itu sahabatnya Reza. Menurut gue, lo salah sangka kalau Reza memperlakukan
lo berbeda.”
Selena menatapku
lekat – lekat. Lalu, melanjutkan. “Itu dia. Lo sendiri sudah tahu jawabannya. Gue
sahabatnya. Tapi, lo bukan sahabatnya Reza. Reza tidak pernah nganggep lo
sebagai sahabatnya.” Bagai tamparan keras perkataan Selena barusan. Banyak
sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Namun, hanya menggangtung saja di
bibirku setelah Selena berkata, “Lo itu spesial bagi Reza. Ia cinta mati sama
lo dari dulu. Hanya saja lo belum menyadari itu. Sadarlah, Vita. Lo harus tahu
itu. Jangan lagi lari dari kenyataan. Sudah saatnya bagi lo untuk tahu hal
ini.”
Tadinya aku
berharap Selena mau membantuku melewati semua ini. Nyatanya ? Ia malah seperti
memojokkanku di sini.
“Tak apa, Vit. Gue
tidak pernah memaksa Reza untuk cinta sama gue. Itu semuanya takdir. Tuhan yang
mengatur itu semua. Gue bisa apa?”
“Gue bisa apa, Sel?
Gue sudah ada yang punya. Gue milik Reynald. Mana mungkin gue terima perasaan
Reza.”
“Vita. Tanya
pada hati kecil lo. Apa lo benar – benar mencintai Reynald? Atau, mana yang lebih lo sayang?
Reynald sebagai cowok lo atau malah Reza sebagai sahabat baik lo? Menurut gue lo itu
bukan milik siapa – siapa. Belum tentu jodoh lo bersama Reynald. Ingat, Vita.
Sekali sahabat tetap sahabat. Tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.”
Ucapan Selena barusan terdengar menggantung. Mengundang seribu pertanyaan.
Sayangnya, semua pertanyaan tersebut belum dapat dijawab. Sesuatu telah
mengubah segalanya.
***
Hari ini aku
yakin. Yakin untuk bertemu dengan Reza dan mengatakan bahwa aku sudah siap.
Siap untuk melanjutkan persahabatan kami.
Toh, Reza hanya jujur pada perasaannya. Ia tidak menuntut apa – apa dariku.
Aku
cuma ingin tidak
ada yang berubah. Kalau boleh jujur, aku masih menyayangi Reza sebagai
sahabatku. Kalau Reynald, aku belum tahu apakah ini hanya sekedar perasaan
kagum atau apa. Biar waktu yang menjawabnya.
Sudah lebih dari
satu jam aku menunggunya di taman seberang gerbang sekolah. Aku mengatakan
padanya untuk bertemu di sini pukul dua siang. Namun, sekarang sudah pukul tiga
siang dan ia belum juga muncul. Aku mulai gelisah. Apa mungkin ia marah dan
tidak mau bertemuku? Ah, rasanya itu tidak mungkin. Ia pasti ingin bertemu
denganku. Ia pasti merindukanku sama seperti aku merindukannya.
Beberapa menit
kemudian kegelisahan yang tadi datang kini lenyap seketika begitu aku melihat
Reza berdiri di depan gerbang sekolah. Dengan baju seragam sedikit berantakan,
rambut yang berantakan juga ada sebuah senyum mengembang di wajahnya. Bisa aku
lihat di matanya ada sebuah harapan begitu melihatku. Aku juga merasakan
sesuatu yang lain. Aku merindukannya. Segera aku berlari ke arahnya dengan
girang dan penuh semangat. Reza juga berlari ke arahku. Semakin kami mendekat
aku semakin memastikan ia juga senang begitu melihatku.
Sampai tiba –
tiba semuanya berubah. Hanya sekejap. Tidak sampai satu menit. Merubah semuanya
tanpa bisa aku atau Reza cegah.
Sebuah truk
datang dari arah kananku dan arah kiri Reza. Melaju dengan kecepatan tinggi.
Reza yang saat itu tengah sadar segera berlari dengan cepat ke arahku dan mendorong
tubuhku menjauh dari tengah jalan. Membiarkan tubuhnya dihantam benda sebesar
itu. Tubuh lelaki itu terlempar sangat jauh. Terhempas begitu saja. Darah mulai
mengalir membasahi tubuh dan jalanan.
Dan, aku tahu. Aku
terlambat.
Dadaku terasa
sesak. Otakku seakan berhenti bekerja. Lamban untu memproses apa yang baru
kulihat. Wajahku pucat pasi. Tubuhku melemas. Tidak mampu berdiri dengan
kekuatanku sendiri. Tidak mampu menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
Aku tidak mampu.
Dulu, aku tidak
pernah menghiraukan perasaan Reza. Aku tidak mengerti mengapa semuanya jadi
begini. Tapi,
saat semuanya berubah, Reza jauh dariku. Pergi meninggalkanku. Aku sadar, aku
selama ini mencintai Reza. Aku menyesal telah bertindak bodoh. Aku hanya
ingkari kata hati kecilku.
Aku mencintaimu
Reza. Maafkan aku karena baru jujur sekarang.
Mengapa cinta
datang terlambat?