Aku
berjalan lurus tanpa arah. Berjalan melawan angin malam yang semakin menusuk
tubuhku. Dingin memang. Apalagi berjalan tanpa jaket atau baju hangat. Tubuhku
menggigil. Hidungku memerah. Aku melipat kedua tanganku di dada. Dadaku sesak.
Gamang. Namun, bukan fisik saja yang kurasa. Bukan
hanya raga ini yang melawan serangan dari realitas ini, tapi juga batinku.
Batinku turut berperang. Sayangnya, sudah kalah terlebih dulu.
London
di malam hari memang indah. Lampu – lampu yang mulai menghiasi kota ini. Gedung
– gedung pencakar langit terlihat megah di sini. Tidak ada bedanya dengan
Jakarta. Hanya saja di sini lebih dingin. Kota ini juga ramai. Namun, bagiku terasa sepi. Aku
yang aneh atau apa? Tapi memang sepi. Kosong. Hampa.
Kamu.
Hanya kamu.
Semenjak
kamu datang, kamu mengubah segalanya. Tapi kini, kau hancurkan segalanya. Cinta
itu memang rumit, dengusku pahit. Tak dapat dijelaskan dengan logika. Sesuatu yang
abstrak. Dideskripsikan seperti apa juga aku bingung. Kadang terasa manis.
Kadang juga pahit. Penuh dengan kerumitan yang tak mudah untuk dimengerti.
Hingga
beberapa waktu lalu, aku melihatmu bersama dia. Siapa dia? Mengapa kau begitu
dekat dengannya? Dan….kamu tampak begitu dekat dengannya! Mesra sekali.
Harusnya aku yang berada di situ. Aku yang berada di posisi dia. Menikmati
cinta kita berdua. Bukan dia. Bukan. Hanya aku dan kau. Hanya kita. Ingat, tiga
orang terlalu banyak untuk sebuah hubungan.
Pengkhianatan
memang sakit. Lebih sakit dari tertusuk jarum. Pengkhinatan memberikan luka
yang amat dalam. Luka yang sukar untuk diobati. Bahkan tidak ada obatnya. Atau
belum ditemukan?
Apa
kamu lupa dengan janji kita? Dalam suka, dalam duka. Kita bersama. Hadapi
bersama. Apapun resikonya, kita tetap bersama. Tapi mengapa begini? Aku tak
pernah menduga kau akan berbuat ini padaku.
Selama
ini kau bermain api di belakangku. Selama ini kau berusaha membuat luka itu.
Tak pernahkah kau merasa apa yang kurasakan? Melihatnya dengan mataku sendiri
sangat sakit. Yang lebih menyakitkan, sahabatku juga terlibat. Kalian berdua
berusaha meremukkan hatiku. Menghancurkanku!
“Aku
bisa jelasin ini semua Jo, maafin aku. Aku hanya….”
Aku
diam. Aku tidak butuh penjelasanmu. Tak butuh kamu membela diri. Bagaimanapun
perselingkuhan itu tak dapat dibenarkan. Apa pun alasannya. Apa pun.
Kau
pernah berkata padaku, akulah yang paling kau cinta. Akulah yang paling kau
mau. Kamu salah. Bukan aku. Tapi dia. Dia yang paling kau cinta. Dia yang paling
kau mau. Bukan aku. Mungkin dulu memang aku, tapi sekarang kau telah
mencampakkanku. Mengganti namaku di hatimu yang terdalam.
Sabar.
Aku hanya dapat bersabar. Hanya satu kata. Tapi tak mudah dijalani. Aku tidak
bisa sesabar Bunda Theresa yang memiliki kesabaran tingkat tinggi. Bagaimana
aku bisa sabar jika melihatmu bercumbu dengan sahabatku sendiri?
Sudah
lama aku mengetahui perselingkuhan ini. Semenjak dua tahun terakhir kita saling
mengikatkan diri dengan sebutan “kekasih”.
“Kenapa
kamu nggak cegah aku? Kenapa kamu gak bilang dari dulu? Kalau kamu bilang pasti
aku bisa sadar. Ini semua salah kamu!”
Kamu
menyalahkan aku? Cinta memang aneh. Sulit dijelaskan dengan logika. Kamu merasa
aku yang salah. Lucu sekali. Mudah sekali untuk memutar balikkan fakta. Aku
hanya berdoa pada Tuhan. Agar Dia tunjukkan jalan yang benar. Jalan yang harus
aku tempuh. Membencimu? Melupakanmu? Atau menyayangimu lagi setelah aku tahu perselingkuhan
ini?
“Sori Jo, gue tahu gue salah.
Gue nusuk lo dari belakang. Please,
denger gue dulu..”
Udah
Ger. Lo nggak usah cerita apa – apa lagi. Bagi gue semua ini udah jelas. Cindy
udah cerita sama gue dari dulu. Gue diem karena gue mau lihat tindakan kalian
selanjutnya. Berubah atau semakin memadu cinta di belakang gue. Nyatanya, makin
parah !
Setelah
lulus SMA aku dan Gerry masuk Universitas yang sama, jurusan yang sama. Di
Universitas ini aku dan Gerry berteman dengan Cindy dan Vika. Kita selalu
menghabiskan waktu bersama. Kemana – mana pasti bersama. Kita saling cerita
satu sama lain. Masalah keluarga, masalah percintaan, bahkan masalah keuangan.
Senang maupun susah kita selalu bersama.
Suatu
hari aku udah memutuskan ini. Aku yakin aku benar –benar jatuh cinta dengan
Vika. Aku ingin menyatakan langsung padanya. Aku ingin suasana itu menjadi
suasana romantis seperti cerita di novel – novel atau cerpen – cerpen yang aku
buat. Ingin membuat Vika tidak punya pilihan lain selain menerima aku sebagai
kekasihnya. Terdengar memaksa memang, tapi aku tidak mau terlambat.
Aku
ceritakan semuanya pada Gerry dan Cindy. Mereka setuju. Mereka ingin membantu.
Baguslah. Mereka memang sahabat yag baik.
Cindy
yang memilihkan tempat. Gerry yang mengajariku cara menyatakan cinta mengingat
Gerry merupakan seorang playboy di
masa SMA. Butuh waktu yang lama bagi Gerry untuk mengajariku. Karena Vika
adalah First Love-ku, aku mau
semuanya sempurna. Itulah alasannya aku rela belajar berjam – jam bersama Gerry
agar dapat terlihat sempurna di mata Vika malam itu. Mulai dari gaya bicara,
berperilaku, sampai gaya makan. Susah memang. Tapi ini demi Vika. Cindy
memilihkan tempat di Sky Dining di daerah Semanggi. Tempatnya romantis. Makan
malam bersama orang yang kucinta dan menikmati suasa malam kota Jakarta.
Aku
beralasan mengajak kami berempat untuk makan di sana. Berhubung rumah Vika
tidak jauh dari sana, maka ia tiba lebih dulu.
Malam
itu Vika menunggu cukup lama. Hingga aku keluar dengan setelan jas yang
membuatku terlihat pria ideal. Cindy juga yang memilihkannya untukku. Aku
sebenarnya tidak
terlalu nyaman. Ya.. demi Vika aku lakukan. Vika juga cantik malam itu. Dengan
gaun merahnya yang merona. Rambut yang dibiarkan terurai. Lipstick yang tertoreh di bibirnya membuat Vika semakin seksi di malam itu. Membuatku
ingin merasakan bibirmu.
Suasana
di malam itu juga tidak terlalu ramai. Dengan musik klasik yang diputar membuat
aku semakin gugup. Jika nanti aku nyatakan cintaku padanya, sudah pasti suaraku
akan mudah terdengar. Aku saja malu mendengar suaraku nanti. Ditambah
penampilan Vika yang sangat menggoda membuatku kehabisan kata – kata. Mendadak
tenggorokkanku kering. Aku rasa aku tidak bisa melewati ini semua.
“Cindy
sama Gerry mana Jo ?” Tanya Vika. Nampaknya ia mulai curiga. Aku bilang saja
mereka masih di perjalanan. Rumah mereka berdua juga jauh.
Ok.
Aku gak bisa lagi duduk di depan Vika. Apalagi suasana seperti ini. Malam itu
aku pergi ke kamar kecil dan merenungi ini semua. Aku bimbang. Aku harus
batalkan ini semua. Ya harus.Vika pasti menolakku mentah –mentah. Aku tidak mau
malu di kemudian hari.
Cindy
dan Gerry dengan sigap menghampiriku. Mereka meyakinkanku.
“Diterima
atau ditolak urusan belakangan. Yang penting sudah berusaha. Vika juga pasti
akan lihat betapa beraninya lo, Jo.” Cindy berusaha meyakinkanku.
“Menyatakan
cinta dari mulut sendiri itu lebih baik. Percaya deh sama gue. Kalau lo gak
bicara sekarang dan nanti Vika udah punya cowok, itu akan lebih sakit, Jo.”
Gerry meyakinkanku pula sambil menepuk
pundakku. Benar juga kata mereka. Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Aku
maju dan mengumpulan sekuat tenaga. Berharap pada Tuhan agar ini semua lancar.
Berharap aku tidak terlihat memalukan di mata Vika. Berharap aku tidak terbata
– bata saat menyatakan cintaku padanya nanti. Sedangkan Gerry dan Cindy
memperhatikanku dari jauh.
Selesai
makan aku katakan kata – kata itu. Keluar begitu saja. Aku juga tidak menyesal.
“I love you, Vika.” Hanya beberapa
kalimat. Beberapa detik. Aku juga kaget mampu mengucapkan kata – kata itu.
Apalagi Vika. Di depanku dia hanya diam menatapku. Tanpa ekspresi.
Aku merasa lega. Sudah
tidak ada beban lagi. Menduga Vika pasti akan menolakku. Aku juga sudah siap.
Selama beberapa detik hanya diam. Cuma terdengar alunan musik. Vika tidak
bersuara apapun. Harapanku mulai runtuh. Aku pasti malu seumur hidup.
Tiba
– tiba kedua bibirnya tersungging. Mendatangkan
harapan. “I love you too, Jo.”
Vika
menerimaku. Ia menerima cintaku. Tak kusangka. Mendadak pipiku memerah. Aku
merasa ada yang mengetuk pintu hatiku dan berdiam di sana. Ini pasti cinta.
Mimpi indahku jadi nyata. Aku tak
pernah merasa lebih baik dari pada saat seperti itu. Vika datang membawakan
cinta yang telah lama kunanti. Tawanya mampu membuatku tersenyum. Semuanya
seperti mudah untuk dijalani. Aku yakin
Vika lah satu – satunya yang ada di hatiku. Tidak ada yang lain.
Cindy
dan Gerry keluar dan memberi ucapan selamat padaku. Vika langsung tahu ini
pasti ulah mereka juga. Ia tidak marah. Mengapa marah? Ia senang punya sahabat
seperti kami. Aku juga senang saat itu. Jatuh cinta pertama kali. Terasa
melayang di udara.
Inikah
yang namanya cinta? Ya ini cinta. Ada sesuatu yang manis seperti gulali di awal
hubungan ini. Tapi semua itu berubah. Seperti meminum racun, aku merasakan
kepahitan. Melihat Vika dan Gerry berciuman di taman tengah – tengah kota
London.
Hatiku
remuk. Semakin mengingat itu, aku semakin membuka lebar – lebar lukaku itu.
Ingin menangis saat itu. Tapi ku tahan. Tak ingin terlihat kalah di depan
mereka berdua. Faktanya aku kalah total.
Harusnya
aku dengar nasihat Cindy. Nasihat yang mengharuskan aku memutuskan Vika hari
itu juga. Hari di mana
Cindy mengetahui perselingkuhan ini.
Hari
itu aku sedang tidak ada di Jakarta. Ibuku mendadak sakit di Yogyakarta. Mau
tidak mau aku harus terbang ke sana dan melihat keadaan ibuku. Vika memiliki
kesempatan lebih banyak bersama Gerry. Di depan mata Cindy mereka berdua
berciuman. Sanking menikmatinya mereka tidak merasa kehadiran Cindy saat itu.
Cindy hanya diam dan pergi.
Ia memberitahuku itu semua. Aku percaya.
Awalnya
sih tidak. Aku percaya mereka akan berubah. Nyatanya? Tidak. Mungkin tidak akan
sadar.
Memenangkan
kuis jalan – jalan ke London menyenangkan bukan? Apalagi aku yang
memenangkannya. Berhadiah tiket empat orang lagi. Langsung saja aku mengajak
mereka. Kerja kerasku dengan sukses memenangkan kompetisi itu.
Tadinya
aku kira aku dapat merasakan moment-
moment romantis di kota ini bersama Vika. Menikmati malam di London sembari
mengatakan I
love you
pada Vika berlatar menara Big Bang. Sekaligus memaafkan dia atas
perselingkuhan. Walau ku tahu, ia tidak pernah meminta maaf. Bahkan
menyesalipun tidak.
Saat
romantis bersama Vika yang aku tunggu ternyata tidak pernah datang. Gerry dan
Vika pamit pergi keluar. Mereka bilang ingin mencari kudapan malam. Cindy
curiga. Aku juga begitu. Setelah mereka pergi aku dan Cindy membuntuti mereka.
Dan…..
Mereka
tidak pergi ke toko. Mereka berdua berjalan ke arah taman di tengah kota
London. Mereka duduk di salah satu bangku taman. Mereka mendekat.. dekat..
dan.. Mereka berciuman penuh hasrat di sana. Di tempat umum. Seolah dunia milik
mereka berdua. Aku hanya diam bagai patung saat menyaksikan itu. Mereka berdua
kaget. Sontak menjauhkan diri mereka masing – masing dan memegang bibir mereka
dengan kedua tangan mereka. Seakan – akan saat itu mereka sadar itu adalah kesalahan.
Dan baru sadar SEKARANG!
Cindy
juga kaget. Seperti pertama kali melihat itu. Padahal ia sudah pernah. Cindy
menepuk pundakku. Berusaha memberi kekuatan.
Tubuhku
melemas. Dadaku sesak. Tidak tahu harus bebricara apa. Semua yang dikatakan
Cindy benar. Hanya saja baru kali ini aku melihatnya langsung. Rasanya aku
ingin menangis. Melihat sahabatku seperti itu. Emosi memuncak. Kesedihanku
tidak dapat terbendung lagi. Aku berusaha tegar. Tidak ingin meneteskan air
mata. Aku ini pria….
“Aku
bisa jelasin ini semua Jo, maafin aku. Aku hanya….” Ucapan Vika terpotong
dengan ucapanku.
“Cukup
Vik. Cukup.” Berusaha agar suaraku terdengar setenang mungkin.
“Sori Jo, gue tahu gue
salah.Gue nusuk lo dari belakang. Please,
denger gue dulu..” Gerry juga berusaha membantu Vika untuk menjelaskan ini
semua. Tapi bagiku ini udah jelas.
“Udah,
Ger. Udah. Cindy udah cerita selama ini tentang kelakuan kalian berdua. Gue
udah tahu semua.” Kataku berusaha menahan kesedihan yang memuncak.
“Kenapa
kamu nggak cegah aku ? Kenapa kamu gak bilang dari dulu ? Kalau kamu bilang
pasti aku bisa sadar. Ini semua salah kamu! “
“Jangan
memutar balikkan fakta Vik ! Aku udah curiga dari dulu. Kamu yang suka ngilang
tanpa kabar. BB kamu yang nggak pernah aktif. Sikap kamu yang mendadak aneh.
Hobi
kamu yang berubah. Dari suka ke salon mendadak berubah menjadi suka main
futsal. Aku tahu kamu gak pernah bisa main futsal. Aku tahu kamu bohong!”. Dadaku terasa sesak.
Sakit rasanya membentak orang yang kucintai dengan kata – kata menyakitkan
seperti itu. Emosiku mulai memuncak.
Aku
hanya berusaha untuk tetap tenang. Lagi – lagi aku menyesalinya. Harusnya aku
tahu. Vika yang enggak pernah menyukai sepak bola, mendadak akhir – akhir ini
sering sekali berlasan bermain futsal. Yang ternyata adalah alasannya untuk
bertemu Gerry karena Gerry penggemar berat bola.
“Aku
udah nggak cinta sama kamu. Maaf ! Aku udah mengandung anak Gerry!”
Aku
dan Cindy kaget mendengar itu. Jantungku terasa mau copot. Serangan bertubi – tubi
menyerang hatiku. Seolah Bumi berhenti berputar. Waktu juga berhenti,
membiarkanku menyimak apa yang barusan kudengar.
Aku
berbalik. Diam beberapa detik. Berusaha sekuat – kuatnya menahan emosiku. Jika
aku marah juga percuma. Tidak ada gunanya. Yang lebih parah lagi, Vika hamil.
Gerry menghamilinya. HAMIL!
Aku
berjalan lurus kedepan. Berusaha untuk tidak menghajar sahabatku itu.
Meninggalkan Cindy, Vika, dan Gerry di belakang sana.
Aku
butuh waktu sendiri. Butuh waktu untuk kembali waras setelah kejadian ini.
Cinta hampir membuatku gila.
Beberapa
waktu lalu aku merasa jatuh cinta. Cinta itu menyenangkan. Tapi sekarang aku
merasa patah hati. Merasa ada sesuatu yang keluar dari pintu hatiku. Cintaku
kini telah pergi. Dimenangkan oleh orang lain yang adalah sahabatku sendiri.
Aku
terus berjalan. Tak hiarukan Cindy yang terus memanggilku. Rasanya aku akan
mati karena cinta. Sakit yang begitu mendalam. Luka yang begitu perih. Hatiku
terasa tersayat – sayat pisau. Memilukan.
Kalau
dapat kubilang, aku juga bersalah dalam hal ini. Aku seharusnya tahu dari dulu.
Jauh sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan Vika. Seorang putri keluarga
Bramowijaya, mana mungkin memilihku yang berpenghasilan sebagai seorang
penulis. Jelas ia akan memilih yang lebih mapan dariku. Bodohnya, aku tak
menyadari orang yang ia pilih adalah Gerry.
Aku
cuma bisa menghelas napas panjang. Gerry dan Vika. Kalau aku perhatikan, mereka
amat cocok. Yang satu seorang putri, yang satu lagi pewaris tunggal harta gono
gini keluarga Paradoks. Ya, aku sadar itu. Dibandingkan dengan aku yang hanya
seorang penulis, tentu Vika akan lebih bahagia dengan Gerry.
Terserah
mereka. Bagiku, menulis adalah hidupku. Tak dapat terpisahkan. Meskipun risikonya mesti kehilangan
orang yang paling kucintai. Bermalam – malam aku menyelesaikan novelku yang
satu itu untuk memenangkan hadiah liburan seperti ini. Demi Vika.
Semua
sia – sia. Pil pahit harus kutelan. Sesak rasanya dada ini. Ingin kuakhiri
semuanya.
Cinta datang membawa kebahagiaan.
Terkadang datang membawa kepahitan. Terus berputar.
Tiba
– tiba terlintas dalam benakku sebuah kutipan yang aku buat dalam novelku.
Aku
merindukanmu, Vika. Aku masih mencintaimu sampai saat ini. Aku berharap aku mau
meninggalkanku demi Gerry. Mustahil memang. Asal kau tahu, hatiku terluka.
Kecewa padamu. Maafkan aku jika selama ini kau tak nyaman dalam dekapanku.
Aku
punya dua pilihan. Memendam rasa cinta yang masih ada atau meneruskannya ?
Aku
memilih....
Pendam.
Tidak mungkin ada kesempatan untukku. Tak bisa lagi aku memenangkan cinta Vika.
Ia sudah mengandung anak Gerry. Ya, aku harus memendam perasaanku yang tersisa.
Menguburnya di dasar hatiku paling terdelam. Berjanji untuk tidak mengambilnya
lagi. Sukar memang, tapi aku harus melakukannya.
Aku
terlalu takut untuk memulai lagi. Takut untuk mencinta lagi. Ini semua membuat
aku trauma. Aku takut apa yang mereka bilang jatuh cinta. Luka yang lama belum
dapat kuobati. Aku tidak mau membuat luka yang baru.
Mungkin
ini saatnya untuk memulai sesuatu yang baru.
Kalau bukunya udah terbit, kabar2in ya Joue~ :D
BalasHapusPasti kak. Tar kalo launch kakak aku undang. Target tahun ini. Doain ya kak :) :) :)
Hapusasiikkkk, sipp ditunggu ya :D
Hapus